Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nenek Tua di Sisi Kota

22 Juli 2016   13:56 Diperbarui: 22 Juli 2016   14:06 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ini nduk” sahut sang nenek

Gadis kecil itu pun menggangguk dan langsung menyambar kue yang disodorkan sang nenek lalu memberi uang yang ia bawa tadi. Setelah memeroleh kembalian dari sang nenek, gadis kecil itu langsung menghambur ke arah ibunya yang sudah menunggu diseberang jalan. Nenek tua itu tersenyum kembali, teringat masa kecilnya dulu.

Detik jam terus berlalu. Hari semakin siang, tapi langit semakin mendung. Semilir angin pun mulai bertiup hilir mudik dengan kencang. Meriuhkan suasana jalan kota yang beradu dengan bisingnya mesin kendaraan.

Terkadang takdir memang tak searah dengan apa yang kita dambakan. Belum genap jam 12, hujan deras kembali mengguyur kota yang cukup padat penduduk ini. Kendaraan-kendaraan pribadi yang bertebaran sepanjang jalan pun seakan menambah riuh suara hujan yang kian deras. Jalanan pun semakin licin dan becek. Mau tak mau, sang nenek harus menghentikan aksinya dan berteduh ditepian pertokoan. Untungnya sebelum berangkat, ia sempat menyelipkan payung dikeranjang kuenya, jadi kini ia dapat pulang kerumahnya tanpa basah kuyub.

——

Sore pun datang menyambar. Nenek tua itu masih merenungi nasibnya untuk esok pagi. Kue yang tadi ia jual belum juga seberapa karena terpotong deras hujan yang mengguyur habis permukaan kota. Tapi, apa yang bisa ia perbuat. Semua itu sudah menjadi ketetapan Tuhan untuk mengatur segala sesuatunya. Meski begitu, ia harus tetap berusaha tersenyum karena sebentar lagi anak-anak akan mendatangi rumahnya untuk belajar menari.

Ya! Rumah bambunya yang sederhana ini disulap sedemikian rupa hingga terlihat menjadi sanggar tari. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menantang arus globalisasi, selain mempertahankan adat tradisional yaitu salah satunya dengan tarian ini, tari cokek betawi yang mungkin hanya terkenal disegelintir lapisan masyarakat betawi seperti dirinya.

Dengan lihai sang nenek mengajarkan gerakan-gerakan dalam tarian itu yang diikuti dengan anak muridnya. Nenek tua itu tersenyum cerah, tatkala melihat murid-muridnya begitu bersemangat dalam belajar menari. Ia berharap, murid-muridnya kelak akan menjadi penari yang hebat. Serta mampu mewariskan tari ini ke anak cucu mereka sekaligus menjaga asset bangsa agar tidak tertelan oleh arus globalisasi.

Tak terasa langit pun menghitam. Matahari yang menjingga digaris batas cakrawala senja berganti dengan eloknya petang yang damai. Suara-suara panggilan ibadah mulai bersahut-sahutan memenuhi isi perut bumi.

Sang nenek pun langsung bergegas membasuh tubuhnya dengan air wudhu lalu mengangkat kedua tangannya untuk memulai takbiratul ikhram. Suara lantunan ayat-ayat suci pun menjadi penghias malam temaramnya. Setidaknya rumah bambu yang ia tempati itu akan menjadi lebih hidup karena lantunan ayat Tuhan itu.

——

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun