Mohon tunggu...
Yanuarita Puji Hastuti
Yanuarita Puji Hastuti Mohon Tunggu... -

Saya orang biasa yang ingin menulis hal-hal luar biasa dengan cara biasa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kloset

19 Agustus 2010   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kloset adalah tempatku merenung, tempatku mengeluarkan emosi, tempatku mengingat semua kejadian, yang menyenangkan juga menyedihkan. Sering kali aku dimarahi kakakku atau tanteku karena berlama-lama di kamar mandi. Dikatakan mereka, aku kurang makan sayur sehingga sulit buang air besar. Mereka pun membangga-banggakan diri sebagai orang yang mudah buang air besar dan menyalahkan aku yang suka bangun siang dan tak mau membiasakan diri buang air besar dengan teratur. Bapakku? Beliau tak pernah berkomentar apa pun tentang kebiasaanku itu. Tentu saja, karena bapak juga dulu suka berlama-lama di kamar mandi.

Kloset menjadi saksi bisu betapa banyak air mata yang jatuh ke lantai kamar mandi. Dialah teman setiaku. Dia tak pernah berkomentar, menyindir, apalagi memarahi aku walaupun setiap hari aku duduki tak kurang dari setengah jam lamanya. Dia juga yang menyaksikan kemarahanku yang tak bisa aku ungkapkan kepada siapa pun walaupun setiap hari kuhadiahi kotoran dari dalam tubuhku.

Sayangnya, kloset tak bisa membelaiku, tak bisa menghiburku. Dia hanya diam kaku melihat semua tingkahku. Padahal aku membutuhkan itu. Ketika kutemukan seseorang yang bisa memenuhi kebutuhan itu, aku pun beralih padanya. Tentu saja aku tak pernah absen mengunjunginya, tapi bukan untuk mencurahkan emosiku. Hanya untuk membuang kotoran dari tubuhku. Itu saja.

Seseorang itu kini menjadi tempatku mencurahkan isi hati. Dia sangat memahami perasaanku. Dia juga selalu tahu apa yang aku inginkan. Dia mau menampung air mataku. Dia juga selalu mencarikan jalan keluar dari setiap permasalahanku. Ketika aku sakit, dia membuat tubuhku nyaman dengan memijat-mijat bagian yang sakit kemudian memberiku obat untuk diminum. Ketika aku sedih, dia menghiburku dan menasihatiku dengan merujuk pada dalil-dalil agama. Ketika aku ingin bercerita tentang masa laluku, dia mendengarkan kemudian memberikan jalan keluarnya. Dia aku anggap guru karena memang dia sangat ahli dalam hal ilmu agama dan al hikmah. Aku pun memujanya.

Sang guru menjadi segalanya bagiku. Semua perintahnya aku turuti. Semua nasihatnya aku simpan di hati. Semua titahnya menjadi pegangan bagiku. Lidahnya penuh doa. Bibirnya penuh mantera. Sampai suatu hari....

“Bisa kamu ke sini besok siang?”

Karena bagiku itu sebuah perintah, langsung kusetujui. Keesokan harinya, ringan langkahku menuju rumahnya yang butuh sekitar empat puluh menit.

“Mengenai masalah kemarin, bagaimana kalau saya lihat dulu?”

Aku mengangguk setuju. Diajaknya aku ke sebuah kamar. Diperintahkannya aku telentang di lantai. Ditekankannya tangannya ke perutku. “Wah, ini sudah parah sekali. Perlu ramuan khusus. Coba buka celananya.”

Masih tenang, aku menuruti kata-katanya. “Coba buka celana dalamnya.” Detak jantungku mulai bertambah cepat. Napasnya mulai terdengar berat. Tanda jantungnya pun berdetak kencang. Hanya beda sebab. Dilingkarkannya tangannya ke leherku. Aku berontak. “Diam dulu.” Aku berhenti meronta. Ada sedikit rasa tenang karena kepercayaan yang aku tanamkan sejak awal pertemuan kami.

Saat dia mencoba bertindak lebih jauh, saat itulah dengan kesadaran penuh aku berkata ketus, “Guru sedang apa?”

Seketika itu pun sang guru melepaskan tangannya. “Pakai lagi.” Dia pun keluar. Aku menyusulnya. Dia tampak tenang, seperti tak ada sesuatu yang terjadi. Jantungku tak lagi berdetak kencang. Kami berhadap-hadapan. Aku menatapnya dalam. Dia berpaling. Lama kami terdiam.

Aku pun pamit. “Sini,” katanya. Aku menghampirinya. Diusapnya keningku sambil mulutnya komat-kamit. Tanpa sempat sadar apa yang terjadi, bibirnya menempel di bibirku. “Hati-hati di jalan ya.”

Aku beranjak. Keluar dari rumahnya. Di tengah jalan, baru aku menyadari semua yang terjadi hari itu. Marah, juga sedih, karena dia begitu tega menistai diriku yang sudah sangat percaya padanya.

Esok harinya, kembali kukunjungi kloset. Kali ini, kembali seperti ritualku sebelumnya, aku menumpahkan emosiku. Kutinju udara di depanku seolah-olah sang guru ada di depanku. Kubanjiri lantai kamar mandi dengan air mataku. Kloset, seperti hari-hari sebelumnya, hanya diam kaku. Dengan setia dia menemaniku, menampung kotoran dari tubuhku, dan mendengar semua keluh kesahku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun