Kemarin siang, saya ke Pasar Minggu dari Bogor. Naik Kereta Rel Listrik.Â
Sebagai stasiun pertama keberangkatan, tentu saja gerbong terlihat sepi. Kondisi yang mengkonfirmasi bawah saat-saat sekarang ini bukanlah waktunya orang-orang berangkat kerja atau bergegas pulang. Walau saya tahu, tetap saja tidak bakal mendapat tempat duduk.Â
Nyaris dua minggu saya (berusaha) menikmati lagi perjalanan seperti ini. Seperti hidup kebanyakan pekerja pinggiran megapolitan, yang pagi-pagi bergerak ke Jakarta, sore hari bergerak balik ke pinggiran. Berdesak-desak di dalam gerbong dengan hape di tangan, headset di telinga. Beberapa lagi terkantuk-kantuk.Â
Di dalam gerbong sesak KRL, semua orang seolah-olah serombongan manekin belaka, tak bersuara dan tak pula bergerak.
Saya suka sekali berdiri di pinggir pintu masuk gerbong. Ini artinya saya akan membelakangi penumpang yang lain. Dengan begitu, saya memiliki sedikit keleluasaan melihat setiap stasiun yang disinggahi. Melihat penumpang yang mengantre masuk.Â
Atau melihat jalanan yang dibelah rel dan laju kereta, bangunan-bangunan besar, bangunan dari tripleks seadanya, hingga wajah pengemudi roda dua di penghentian lampu merah. Wajah-wajah yang disuruh menunggu.
Menunggu kereta melintas, menunggu kereta tiba, menunggu kereta sampai di tujuan.Â
Achievement Society dan Laku Asketisme Dalam Dunia
Menunggu dalam hiruk pikuk ruang urban bukanlah perkara yang mudah dikelola. Terutama bagi mereka yang bergegas dengan isi kepala dipenuhi target, menunggu adalah kegiatan yang menyiksa.
Menunggu bisa merusak irama yang cepat atau siklus yang konstan dari keberlangsungan tatanan tertentu. Apalagi jika menunggu dikonsepkan kedalam kegiatan produksi ekonomi. Menunggu dalam ruang semacam ini adalah gangguan terhadap waktu produktif.