- karena Amato Assagaf (1970-2025)
Ini bakal jadi hari panjang
bagi kesedihan yang merajalela
tapi, aku cuma bisa
merapikan tangis di keramaian.
Bertahun-tahun lama,
nasib melempar diriku
ke titik jauh, pada sebuah pinggir resah
--sangat resah.
Sebuah tempat dimana
negara selalu ingin mengatasi sejarah,
mengacak-menginjak si/apa saja
sementara orang-orang tidak percaya pada kata.
Perahu kayu, sungai hitam,
hutan rawa gambut, rumah panggung
dan jamban terapung adalah
hari-hari dimana keresahan-keresahan
suka menyamarkan dirinya. Â
Aku ingin, tapi tidak mungkin, menjadi
riak kecil mengalir di antara mereka,
terhempas, seperti mau pecah
tapi tidak mengering.
Riak tidak pernah benar-
benar senyap, walau
acapkali berpusing-pusing
pada takdir aliran besar.
Sehingga ketika nasib
mengembalikan aku
ke sebuah kota di bawah
lampu menyala sepanjang waktu,
keresahan-keresahan yang mengikuti
telah menjadi bayangan;
memanjang, mengecil,
dan meliuk-liuk dari cahaya.
Ia sedang tumbuh dengan
cara yang tidak (lagi) mudah diakrabi,
sebagai keterasingan, ia menggerayangi
dari dalam.
Kota ini ingin menelanku
--oh nasib. Tak lagi riak, kini
mesti mengumpulkan kemungkinan-
kemungkinan tidak menjadi retak.
Lalu dari dalam remang-remang
di perkampungan tua, aku melihat
sebuah rumah dengan pikiran
berjaga sepanjang gelap. Janggutnya
percik-percik perak kunang-kunang.
Aku masih mengenali mata yang hitam, kecil
dengan binar tajam seperti dulu. Seperti Hercule Poirot.
Bertahun lama juga, kita pertama bertemu
di perkampungan yang sama. Dia tengah bergegas
ke halaman tua dari majalah.
Ada tiga orang di panggung teater,
dia salah satunya.
Kita tidak banyak bicara.
Hari ini, aku harus bertamu kepadanya,
Kota ini telah merupa ruang yang memangsa, ia lebih ingin
melesapku lebih lekas dari tanah kering retak kepada air.
Sekarang ini, kita bakal banyak cerita,
sebagaimana pikiran curiga
kepada kuasa, nasib dan harapan:
dari sungai hitam hingga
cahaya kota yang pelan-pelan menelan manusia.
Â
Tunggu, ia bilang kepadaku, jangan begitu.
Mula-mula, berangkatlah dari alasan-alasan
yang menghidupi keresahan-keresahan,
mulailah dari caramu memahaminya.
Maka ia bertukar banyak sekali riwayat dari
bagaimana orang-orang dulu memahami keresahan (di zamannya)
keresahan kita seringkali bukan siapa-siapa,
tetapi ia selalu pantas direnungkan.
Sejak hari itu, aku selalu tahu,
di perkampungan tua ini, hidup masih sudi merawat asa.
Aku selalu ingin pergi ke sini,
ingin boleh selalu kembali.
Lalu, kemarin malam, di gang sempit
di bawah gedung tinggi Jakarta,
kabar duka tiba dari banyak penjuru,
mengheningkan pikiran, tiba-tiba memutar mundur waktu.
Aku seperti sedang tidak di sini, tapi tidak pula di sana
duka menghidupkan kenangan-kenangan
lelaki dengan janggut perak itu baru saja pergi,
setelah menulis pesan bagi kematiannya sendiri.
Hari ini akan menjadi kesedihan panjang,
yang merajalela.
Selamat jalan.
2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H