- karena Amato Assagaf (1970-2025)
Ini bakal jadi hari panjang
bagi kesedihan yang merajalela
tapi, aku cuma bisa
merapikan tangis di keramaian.
Bertahun-tahun lama,
nasib melempar diriku
ke titik jauh, pada sebuah pinggir resah
--sangat resah.
Sebuah tempat dimana
negara selalu ingin mengatasi sejarah,
mengacak-menginjak si/apa saja
sementara orang-orang tidak percaya pada kata.
Perahu kayu, sungai hitam,
hutan rawa gambut, rumah panggung
dan jamban terapung adalah
hari-hari dimana keresahan-keresahan
suka menyamarkan dirinya. Â
Aku ingin, tapi tidak mungkin, menjadi
riak kecil mengalir di antara mereka,
terhempas, seperti mau pecah
tapi tidak mengering.
Riak tidak pernah benar-
benar senyap, walau
acapkali berpusing-pusing
pada takdir aliran besar.
Sehingga ketika nasib
mengembalikan aku
ke sebuah kota di bawah
lampu menyala sepanjang waktu,
keresahan-keresahan yang mengikuti
telah menjadi bayangan;
memanjang, mengecil,
dan meliuk-liuk dari cahaya.
Ia sedang tumbuh dengan
cara yang tidak (lagi) mudah diakrabi,
sebagai keterasingan, ia menggerayangi
dari dalam.
Kota ini ingin menelanku
--oh nasib. Tak lagi riak, kini
mesti mengumpulkan kemungkinan-
kemungkinan tidak menjadi retak.