Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dua Pagi di Surakarta

28 September 2024   10:57 Diperbarui: 28 September 2024   13:39 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan Jalan Pakoe Boewono |Foto: S Aji

Sebelum pagi pertama... 

Dari dalam KRL yang melaju, sisa hujan itu berserak di sepanjang perjalanan dari Tugu hingga Solo Balapan. Langit juga masih terlihat mendung di beberapa bagian. Hari sudah sore, sebentar lagi akan magrib.

Tiga orang kawan yang baru tiba di Jakarta sudah menunggu di sebuah warung kaki lima yang terletak persis di depan Pasar Ayu. Saya bergabung, lantas dengan gocar, kami menuju hotel yang terletak di jalan Slamet Riyadi.

Panitia memberi kamar di lantai 9, saya cepat-cepat memasuki lift. Gerah yang tadi ganti berubah lengket di sekujur badan. Berendam air hangat barang sebentar mungkin boleh mengembalikan kesegaran.

Tak lama kemudian, sesudah bersih-bersih, kami berkumpul untuk makan malam di Galabo Kuliner. Beberapa kawan dari Yogya, yang pernah kerja bareng di Sumatera Selatan, ternyata hadir pula di sini. 

Jadi, kita makan sembari membicarakan yang sudah terjadi, mengulik ingatan yang masih tersisa, dan bertanya kabar dari orang-orang yang tidak ada di sini. 

Malam pertama di Surakarta, saya tertidur dengan nyenyak.

Foto: S Aji
Foto: S Aji

Kamis, pada pagi pertama...

Saya bergegas untuk sebuah rencana sederhana. Pagi ini adalah saatnya melakukan orientasi medan atau mengalami ruang yang bernama Surakarta dalam skala kecilnya.

Sebab itu, menggunakan sepatu kets, celana pendek, kaos hitam dan topi pet lusuh, saya berjalan dari depan hotel, melewati gedung GPBI Penabur, menyusuri jalan Jendral Sudirman. Hingga tiba di depan Balai Kota, berhenti sejenak. 

Ada seorang perempuan sedang bersiap lari pagi, ia memegang tumbler. Dan seorang pemuda yang sedang duduk dengan sepedanya. 

Saya memutuskan menyebrang ke jalan Urip Sumoharjo, melintasi pertigaan yang mulai ramai kendaraan. 

Dari sini, saya memilih berbalik arah melewati halaman depan benteng Vastenburg. Sumber Belanda menyebut jika Vastenburg dibangun sekitar 1745 atas perintah Gubernur Jendral Gustaaf Willem baron van Imhoff (1705-1750).

Persis di sebelah kiri, berdiri gedung Mall Pelayanan Publik (MPP), yang diresmikan tahun 2020. Saya seolah sedang melintasi dua zaman, bukan cuma dua bangunan dari kehendak politik yang berbeda. 

Jika bangunan pertama melambangkan kuasa dan kontrol kolonial, khususnya terhadap raja-raja Jawa. Maka yang kedua adalah perlambang dari kehadiran negara paskakolonial dengan hendak memenuhi cita-cita pelayanan publik.

Tapi, karena sebatas ingin mengorientasikan ruang di kepala, maka saya lebih peduli pada jarak yang sudah ditempuh. Bukan pada mekanisme kuasa dan kontestasi dalam produksi ruang urban, seperti yang direfleksikan seorang marxist Perancis bernama Henry Lafebvre. 

Kini, saya menyeberang lagi, dan meniti jalan Pakoe Boewono yang tak seramai Jendral Sudirman.

Ada beringin besar dan trotoar yang lapang. Di sebuah titik, berbincang seorang bapak pengayuh becak dan seorang ibu; dua jelata yang mungkin menghabiskan hidup sehari-hari di jalanan.

Saya memilih berbalik arah saja. Kemudian meniti jalan besar Slamet Riyadi terus. Mungkin sekitar 800 meter, lantas berbalik arah lagi, kembali ke penginapan. Sudah waktunya sarapan. 

Kendaraan makin ramai di jalanan.

Papan Jalan Pakoe Boewono |Foto: S Aji
Papan Jalan Pakoe Boewono |Foto: S Aji

Jumat, pagi kedua...

Saya bangun lebih dini dari kemarin pagi. Kemudian bersiap dan membatin, waktunya lari. Sesudah warming-up singkat, saya cepat-cepat masuk lift. 

Tiba di loby hotel, agak temaram, tak ada orang di resepsionis. Saya berbicara dengan seorang petugas restoran dan menitipkan kunci kamar. 

Mengikuti rute kemarin, saya berlari pelan hingga melewati Balai Kota dan tidak berbalik lagi ke jalan Urip Sumoharjo. Terus ke jalan Arifin hingga tiba di sebuah belokan ke kiri, menyusuri jalan Saharjo. Masih tak banyak kendaraan. 

Sepanjang jalan Saharjo, sy tidak berhenti untuk mengabadikan gambar. Surakarta masih sepi, beberapa toko masih tutup. Hingga tiba di jalan Teuku Umar, saya terus saja. Akhirnya, jalan Slamet Riyadi sudah tampak di depan sana. 

Saya kembali ke arah dari mana saya berangkat dan memotong jalan Mayor Sunaryo. Melewati Pusat Grosir Solo hingga tiba di perempatan pertama, dan berbelok ke arah kiri. Saya sedang melewati bagian belakang dari Vastenburg. Dari sini, saya berbelok kiri lagi, mengikuti jalan Mayor Kusmanto dan kembali ke Jendral Sudirman. 

Dari sini, saya menyusuri jalan yang kemarin. Melewati benteng dan mall pelayanan hingga ke jalan Pakoe Boewono. Rute di akun Strava saya sudah membentuk dua persegi panjang. Sudah 4 kilometer saja, rupanya.

Lari di pagi kedua ini, sejatinya terasa begitu santai. Tapi keringat yang bercucuran lumayan deras.

Rekaman statistik di Strava | Dok: S Aji
Rekaman statistik di Strava | Dok: S Aji

Sesudah ini semua..

Dua pagi ini adalah sebentuk realisasi janji hati yang sederhana. Sejenis pembuktian komitmen yang tak muluk-muluk. Tidak pula ditujukan kepada sesuatu di luar diri sendiri. 

Jadi, ia semacam kemenangan kecil. 

Tentu saja, Surakarta atau Solo, jauh lebih besar dari rencana dan tindakan kecil di atas. Setidaknya dalam satu dekade terakhir negara paskareformasi, tempat ini adalah salah satu pusat kuasa penting, tak sebatas warisan budaya atau kulinernya.

Sebagai representasi kota dengan jejak kolonial yang panjang, Surakarta adalah titik penting dari pertumbuhan gerakan perlawanan modern sebuah bangsa yang kelak menjadi Indonesia Raya di tahun 1945. 

Di sini, gerakan sosial melawan berbasis organisasi, massa dan jurnalisme tumbuh subur. 

Kita bisa membaca ini dengan seksama dari riset sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi (saya membacanya lagi semalam sebelum tiba di Surakarta). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

Surakarta di masa itu adalah sebuah sumbu yang menghimpun energi perlawanan sosial. Tatanan sosial-ekonominya dikondisikan oleh penderitaan jelata yang diakibatkan oleh kebijakan kolonial dan sisa feodalisme.  

Apa kabar Surakarta hari ini? Surakarta memberi negeri ini seorang presiden, kemudian wakil presiden dari satu klan yang sama. 

Dan di hari-hari terakhir presiden itu, ada kecemasan yang berusaha disamarkan (atau dibikin tampak semua akan baik-baik saja). Dia bukan lagi kesayangan, setidaknya di beberapa media arus utama. 

Apakah ia tengah menjelma telur di ujung tanduk? Apakah dia bakalan kehilangan kendali atau sebaliknya adalah pertanyaan paling penting di masa seperti ini.

Mengalami Surakarta dalam dua pagi memang tidak dalam rangka membawa saya kepada jawaban. 

Saya memang sempat ngobrol singkat dengan Joko, pengojek yang mengantar saya ke Solo Balapan. "Apa yang berubah di masa Jokowi atau juga Gibran ketika menjadi walikota?"

Dia bercerita beberapa peristiwa, dengan bahasa Jawa bercampur Indonesia. "Orang kalo didemo, tapi, yang didemo (malah) ngajak makan siang dulu, nanti sesudah itu demonya dilanjutkan lagi, apa gak sungkan pendemonya, mas?"

Oh, gitu. Tapi tak ada kata-kata lagi. Stasiun Solo Balapan sudah di depan mata. 

"Suwun ya, Pak."           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun