Pendek kata, stereotip semacam begini membuat orang-orang dari belahan Indonesia Timur begitu saja identik dengan pekerjaan seperti debt collector. Atau terikat pada dunia premanisme yang keras.
Mendekonstruksi stereotip semacam ini lewat sebuah drama komedi jelas bukan perkara mudah, walau tentu saja menarik.Â
Pertanyaan selanjutnya, apakah Kaka Boss berhasil menautkan drama keluarga dan komedi yang berakar dari kebiasaan orang-orang di Indonesia Timur berhasil?Â
Atmosfir di Depan Layar. Untuk memeriksa semampu apa Kaka Boss berhasil menautkan drama keluarga dan komedi adalah dengan menyimak atmosfir di depan layar.Â
Walau tak sampai setengah isi bioskop, setidaknya saya bisa menduga-duga apakah komedi dan drama dari film ini bekerja atau tidak. Ternyata, di sepanjang film, komedi dan drama yang dibangun bekerja dengan cukup baik.Â
Banyak penonton yang tertawa berbarengan, seperti ketika Marta dan Nora dengan dialek timur, mengolok-olok niat kaka bos menjadi penyanyi. Sama halnya juga di bagian yang dramatik, suasana mendadak hening ketika melihat kaka boss--yang bos di sebuah perusahaan keamanan swasta-- menangis sesenggukan serupa anak kecil di kamarnya.Â
Hati seorang ayah memang paling terluka oleh kelakuan anak perempuannya.
Sebagai seorang ayah, film ini bisa menghadirkan emosi yang dalam dan menjadi-jadi. Terutama tentang sosok ayah yang bersedia melakukan apa saja demi membahagiakan anak-anaknya.Â
Kaka Boss yang berdurasi 120 menit kembali menguatkan karakter yang di balik sikapnya yang keras tanpa kompromi atau sosoknya yang sangar, sebenarnya tersimpan jiwa penuh kasih yang hidup hanya untuk kebahagiaan keluarganya.Â
Para Debutan dari Timur. Kita jangan mengabaikan fondasi proyek bahwasanya Kaka Boss adalah judul sebuah film yang dihidupi banyak debutan.Â
Dimulai dari Arie Kriting sebagai sutradara dimana ini adalah film layar lebar pertamanya. Kemudian, Glory Hillary sebagai Angel, putri semata wayang Ferdinand Omakare. Kemudian Elsa Japasal yang berperan sebagai Gladys, teman sekolah Angel.