Memaafkan dan melupakan selalu memiliki dimensi sosialnya yang kompleks.Â
Ia dibentuk dalam konteks hubungan sosial tertentu. Di dalamnya ada kedekatan (intimacy) individu, waktu yang membentuk, harapan (atau dari mana manusia mengalami kekecewaan), dan tentu saja, orang lain. Karena itu, bisa dimengerti bahwa memaafkan dan melupakan adalah perkara sosiologi, sekaligus perkara psikologi bahkan filsafat.Â
Lantas, bagaimana pikiran sosiologi memahami memaafkan dan melupakan bekerja di antara individu, kelompok, atau masyarakat?
Saya memiliki satu kasus yang menarik (dari banyak sekali yang tidak ingin diingat-ingat) untuk ihwal yang satu ini.Â
Alkisah, ada seorang kawan yang sehari-hari menjalani hidup dengan pikiran yang sederhana seperti pakaian yang sering dia gunakan, ambisi yang nyaris tak muluk, namun keterikatan yang masih kuat pada nilai-nilai (ideologi) kelompok.Â
Ia memang pernah menjadi salah satu pengurus di organisasi mahasiswa yang mengabdikan diri pada perjuangan membela orang-orang miskin papa tanpa membedakan pilihan religiusitasnya. Garis keberpihakannya adalah kepada kaum mustadh'afin.
Di satu episode hidupnya, dia berhasil menyelesaikan masa menjadi mahasiswa itu dan diterima sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).Â
Kemudian ditempatkan di sebuah Kabupaten. Menjadi orang berseragam dan memiliki rutinitas kantoran yang banyak dirindukan teman-teman seangkatan. Ia sejatinya yang beruntung sebab dunia aktivisme mahasiswa tak selalu compatible dengan pasar kerja.
Seiring waktu, ketika ia sedang menikmati rutinitas itu, datang bujukan untuk mengikuti sebuah seleksi.Â
Seleksi ini berhubungan dengan aparat penyelenggara pemilu--sebuah ritual politik prosedural yang dulu ditentangnya habis-habisan ketika masih mahasiswa--yang kebetulan remote kendalinya sedang berada di orang-orang yang seorganisasi dengannya di masa lalu, dari Jakarta hingga daerah.