Masyarakat di sepanjang DAS sangat bergantung pada pemberian hutan, baik berupa perikanan tangkap ataupun mengumpulkan hasil hutan bukan kayu, seperti madu atau getah jelutung. Termasuk melakukan perburuan dan menebang kayu untuk keperluan sehari-hari, tidak dalam skala yang raksasa.Â
Sementara itu, bersisian dengan wilayah permukiman mereka yang tak luas juga kebanyakan tanpa layanan dasar yang memadai, pemerintah memberikan konsesi perkebunan sawit berukuran ratusan hingga ribuan hektar.Â
Perkebunan sawit yang merefleksikan apa yang dibilang Vandana Shiva sebagai "monoculture of the mind", selain meluaskan pola hubungan kerja majikan dan buruh.
Hutan, yang menjadi sumber utama ketergantungan warga, sesungguhnya sedang berada dalam laju deforestasi dan degradasi serius. Sungainya pun tak luput dari pencemaran limbah logam berat akibat pertambangan tradisional.
Lanskap semacam ini, secara pasti, kehilangan interaksi dan fungsi ekologisnya secara terus menerus; daya dukung ekosistemnya merosot, biodiversitasnya ditumbalkan. Bersamaan dengannya, proses marginalisasi ekonomi warga lokal ikut terjadi.Â
Bagi saya, Kabut Berduri membawa penonton kedalam perjumpaan langsung dengan konteks lokal Kalimantan yang semacam di atas, bukan konteks yang direkayasa. Sebagai informasi saja, proses pengambilan gambar film ini menghabiskan waktu sekitar 5 minggu di pedalaman Kalbar.
Kedua, kompleksitas jalinan ceritanya. Di satu poros, penyelidikan Sanja Arunika yang gigih menuntunnya pada operasi bisnis hitam Panca Nugraha dan cukong lokal. Bisnis hitam ini melibatkan pula aktor dari masyarakat suku.
Bisnis itu adalah perdagangan manusia, khususnya remaja dan anak-anak perempuan dari keturunan suku-suku lokal. Kemiskinan membuat anak perempuan ini pergi jauh dari rumahnya. Otoritas institusi membuat para pelakunya seolah tak tersentuh hukum.Â
Sedang di poros yang lain, orang-orang lokal dihidupi oleh gagasan tentang Ambong, sang roh penunggu hutan. Ambong dalam versi yang lain dikenal sebagai seorang pemberontak komunis dari organisasi Paraku yang masih berkeliaran di dalam hutan.
Ambong adalah percampuran dari harapan akan perlindungan dan keselamatan, di sisi lainnya, kemarahan dan pemberontakan.
Karena itu, bisa dimengerti Ambong telah berkembang seolah Mesias, dia menjaga alam, melindungi warga lokal dan menyalurkan rasa sakit serta kemarahan mereka terhadap kekacauan yang diproduksi dunia modern.Â