Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"13 Bom di Jakarta" dan Daya Tarik Persilangan Identitasnya

16 Juni 2024   10:16 Diperbarui: 19 Juni 2024   10:12 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subcomandante Marcos, yang menyembunyikan identitasnya di balik topeng hitam, topi berlidah pendek, dan cangklong (pipe) belakangan diketahui bernama Rafael Guilln Vicente. Dia seorang terdidik dan profesor yang memilih mengabdi pada perjuangan hak-hak masyarakat adat.

Arok ditampilkan dalam tampang yang menyerupai. Bedanya, yang memimpin teror 13 bom ini berlatar belakang seorang pasukan khusus dan dendam kesumat. Istrinya yang bunuh diri karena korupsi orang kaya yang mengorbankan anak buahnya.

Sebab itu, Arok yang fiktif ini tidak mewakili ideologi yang lebih besar dari dirinya. Satu-satunya atau elan vital revolusionernya adalah patah hati dan kemarahan absolut terhadap sistem yang memungkinkan orang kaya selalu bisa menumbalkan orang miskin.

Sosok Arok yang seolah-olah Subcomandante Marcos versi Indonesia | Visinema Pictures via Islami.co
Sosok Arok yang seolah-olah Subcomandante Marcos versi Indonesia | Visinema Pictures via Islami.co
Identitas atau ikon kedua adalah relasi Arok dan kelompoknya. Mereka tampil selayaknya kelompok terlatih dengan loyalitas tanpa tanding, bukan saja kepada Arok namun yang lebih fundamental lagi adalah kepada ideologi kehancuran tatanan.

Ini adalah tipe kelompok yang tak menerima kemungkinan lain di luar keyakinan mereka sendiri--ciri ekslusif ada pada semua tipe kelompok teror. Lantas, apa yang membuat Arok, dkk ini menarik?

Mereka terlihat serupa peniruan lokal dari eksistensi kelompok Bane dalam film The Dark Knight Rises (2012). 

Bane memimpin kelompok yang loyalitasnya tanpa sanggah, mereka terlatih, bergerak di bawah kota, dan berpusat pada komando Bane. Mereka --kelompok Arok dan Bane--adalah akumulasi dari kesalahan kekuasaan dan hukum, semacam Homo Sacer dalam bentuk modern.

Bedanya, Bane lebih kuat dalam penggunaan metode yang memungkin anarkismenya terlihat masuk akal, sebelum dihentikan Batman yang kembali dari sumur neraka. Sementara Arok yang lebih Indonesia, terlihat masih gagap dan kasar menerjemahkan ideologi pemberontakannya. 

Jika Bane akhirnya modar karena arus balik perlawanan polisi Kota Gotham, bersama Batman dan Cat Woman yang didukung teknologi perang mutahir, Arok tidak sampai ke titik yang sama. Arok, dkk bubar oleh serangan balik polisi dengan teknologi tempur yang merupakan warisan Perang Dunia II. 

Walau begitu, 13 Bom di Jakarta adalah eksperimen laga yang menarik untuk diskursus film di Indonesia. Arok adalah sebuah usaha yang cukup baik.

Paling tidak, ia menghindarkan penonton dari penafsiran teror yang berakar dalam ajaran atau doktrin agama. Ia mengingatkan kembali pada sisi paling subtil dari jalan teror: ketika manusia berkali-kali dihantam oleh sistem yang antimanusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun