Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hiiiih...

14 Juni 2024   09:00 Diperbarui: 14 Juni 2024   09:08 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada rumah kardus dan bangku kayu warisan Belanda...

Kamu tiba di hadapan dirimu yang sepi,
tak saling bicara, menatap dalam kosong
siapa yang memulai telah menjadi doa
yang tidak pernah terkabulkan.

Entah kamu atau dirimu yang sepi itu
tersedak gumpalan-gumpalan
kalah dan derita, mendesak-desak
sebagai timbunan marah kepada nasib.

Nasib?

Nasib adalah layar sentuh bagi telunjuk kekuasan
pada sejenis grafik kemelaratan---
kamu menjelma angka-angka
tanpa nada. Partitur bagi pertunjukan tumbal-tumbal.

Dan, nasib sudah tumbuh menjadi darah, daging,
darah daging pula.

Kini kata-kata hanyalah ibukota yang sombong
begitu dingin, enggan disentuh, dan terus-terusan
lelah tapi jijik terhadap keluhan dan airmata;
terhadap dirimu sendiri.

Kamu & dirimu yang lirih itu,
sekadar ingin dipisahkan oleh mati,
dalam satu tikaman saja belati
atau kemelaratan berkali-kali.

Hiiiiih...

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun