[Kaki Klabat/Ujung September]
Puisi itu bisa dimengerti tentang tragedi anak muda di pedesaan. Atau bagaimana keluarga dihancurkan oleh bujuk rayu modernitas dan saat bersamaan kehilangan ikatan akar terhadap tradisi (terhadap tanah sebagai kedaulatan hidup).
Anak muda itu adalah potongan nasib dengan tragedi yang seolah-olah berketurunan.Â
Orang desa, tanah, urbanisasi dan nasib tragik tidak bakalan menjelma kedalam Di Musim yang Kusut andai puisi Jokpin yang berjudul Naik Bus di Jakarta tidak pernah saya baca.
Sebab itulah, dengan segenap kesedihan ini, terima kasih Joko Pinurbo. Telah mengabdikan hidup sebagai guru yang secara sungguh-sungguh membuat saya akrab dengan puisi yang pintar menertawakan tragedi sembari bermain dengan ironi.Â
Selamat jalan, Tuan. Hormat.
***