Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terluka
dan aku tidak berani melongoknya.
Ignas Kleden tentu saja mengajukan (cara menemukan) jawaban.Â
Yakni dengan mengajak kita melihat tubuh dalam puisi penyair yang pada tanggal 11 Mei nanti akan berulang tahun kedalam diskursus intelektual, khususnya filsafat dan sosiologi. Tempat dimana tubuh direnungkan dalam konfigurasi kapitalisme dan masyarakat modern.
Ignas Kleden menutup renungannya dengan kalimat:Â
Dalam arti itu, kumpulan sajak ini dapat dipandang sebagai suatu seismograf kebudayaan karena dia menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dalam hidup, dalam kebudayaan, dan dalam puisi Indonesia. Membaca kiasan badan dengan benar, memahami bahasa badan dengan lebih sensitif, adalah sebuah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaan dan masyarakat, juga di Indonesia. Â
Dari warisan renungan Ignas Kleden, saya lantas tergerak membaca ulang kumpulan puisi sang penyair kelahiran Sukabumi yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Gramedia, 2022). Sengaja saya berhenti di halaman 43, dimana Di Bawah Kibaran Sarung sedang menunggu.Â
Saya kutipkan saja bait pertamanya:
Di bawah kibaran sarung, anak-anak berangkat tidur
di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur
yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi
seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung,
mata yang dalam dan cekung.
"Hidup orang miskin!"pekiknya
sambil membentangkan sarung.Â
Kibaran sarung (dan bukan bendera negara) adalah pelindung bagi orang-orang miskin kala menidurkan nasibnya.Â
Mengikuti Ignas Kleden, sarung dalam puisi itu tidak lagi berhenti sebagai atribut ekstrinsik (sesuatu yang berada di luar). Sarung telah menjadi bagian dari pergulatan sehari-hari dari nasib miskin dan batuk yang berbunyi sepanjang malam.Â