Di tanggal 27/02, Chiesa, dkk ditahan imbang Empoli. Lantas disikat Inter dan Udinese, kemudian imbang lagi dengan Verona, dan menutup jadwal Februari dengan menang tipis atas Frosinone.Â
Memasuki awal Maret, disikat lagi oleh Napoli, imbang dengan Atalanta dan Genoa, terus kalah dari Lazio di akhir bulan.Â
Lalu, memasuki April, menang tipis dari Fiorentina, diikuti dua hasil imbang kala bersua Torino dan Cagliari. Di bulan yang dipenuhi berita sidang sengketa pemilu di Indonesia, Juventus memang sempat menang atas Lazio tapi di ajang Coppa Italia.
Serentetan hasil ini membuat poin Chiesa, dkk serasa sedang menarik kapal induk dengan perahu katinting. Berat, menyesakan dada tapi kita tidak bisa meninggalkannya sendirian (baca: tetap ditonton dengan sepanjang babak menghela nafas).
Terang saja, statistik barulah satu hal. Bagaimana dengan cara mereka bermain, mengembangkan game plan?
Juventus terlihat membiasakan diri dengan skema menyerang cepat, serupa skema fast-break yang diperagakan pasukan Ten Hag di Inggris. (Eh, kamu gak mabok?)
Skema ini tidak ingin berlama-lama mengelola possession football, seperti yang diperagakan Man City atau Arsenal. Tapi tidak berarti bergantung pada kinerja dari counter attack.
Untuk musim ini, skuad Allegri tidak masuk kedalam 5 besar tim Serie A yang memainkan possession football, termasuk tidak berada di dalam 5 tim dengan akurasi umpan yang berada di atas 80% kesuksesan.
Bersamaan dengan itu, dari mekanisme fast-break, serangan ke gawang lawan secepat mungkin menghasilkan gol dengan mengeksploitasi sisi yang bolong. Transisi ini ditopang oleh pergerakan winger yang cepat, untuk kasus Juventus, terutama berasal dari kiri dengan prosentase mencapai 39% (Whoscored).Â
Style seperti ini juga menyaratkan komposisi midfielder yang sama cepatnya melihat retakan di baris pertahanan lawan.Â
Sayangnya, Juventus tidak memiliki gelandang kreatif yang semacam Zidane atau Pirlo. Bahkan yang selevel Bruno Fernandes saja mereka tak kuasa membelinya.