Saya berhasil mewawancarai beberapa tokoh kuncinya dan menyimak ingatan yang tumbuh menjadi perlawanan terhadap ancaman yang mengincar hutan dan hutan sagu--dua ekosistem yang menjadi rumah sekaligus ibu bagi masyarakat adat.
Di samping itu, mendengarkan cerita dari anak-anak muda yang terlibat dalam proses pemetaan wilayah adat dan pengembangan pertanian organik.Â
Dan, tak lupa, mendengarkan cerita Mama-Mama Knasaimos ketika membuat tepung dari bahan sagu dan pisang. Di malam hari, mereka memasak papeda dan ikan kuah kuning atau kepiting bakau yang kami santap bersama-sama. Sesekali saya ikut juga makan pinang.
Saya benar-benar menaruh rispek yang tinggi untuk perjuangan yang tidak sebentar apalagi mudah ini.Â
Terakhir, saya berkunjung ke Kampung Solol yang terletak di Pulau Salawati, Raja Ampat. Seumur-umur, ini adalah perjalanan pertama ke sebuah kampung pesisir yang berada di sekitar hiruk pikuk pariwisata dunia.Â
Akan tetapi, Solol yang terletak di Selat Sagawin tidak membayangkan dirinya ke sana. Orang-orang di Kampung ini berusaha menemukan identitasnya sendiri, dimana gereja dan adat menjadi poros utama pewarisan nilai dan kebudayaan.Â
Datang ke Kampung Solol yang tenang, dengan pemukiman tertata dan pohon pinang yang tumbuh di setiap pekarangan juga sebuah monumen besar berupa kapal besar untuk mengenang jasa misionaris di tengah perkampungan, saya dipaksa wajib mempelajari masa lalunya.
Ternyata perkampungan yang kecil ini dibentuk oleh migrasi anak-anak suku, masa-masa perebutan pengaruh kolonial, dan pernah menjadi wilayah satelit yang digunakan Amerika Serikat kala memata-matai aktivitas Jepang di Pasifik, 1940-an.
Di masa yang lebih mutakhir, wilayah hutan perkampungan ini pernah dirusak oleh aktivitas pembalakan liar sementara proyek konservasi pesisir dan terumbu karang yang disebut dengan Coremap berusaha melindungi sumberdaya baharinya.
Solol adalah perkampungan teduh di pesisir dengan masa lalu yang penuh gejolak. Di sini, saya terkenang kampung kelahiran, Serui. Â