Komedi yang mengolok-olok pragmatisme elite membantu kita tertawa sekaligus menatap lirih ke dalam diri sendiri.Â
Kita yang konon memilih secara rasional sepertinya tidak lebih berharga dari obyek yang berkali-kali dimanipulasi. Sebagaimana tikus dalam ruang dingin laboratorium perilaku, hiiks.Â
Ada tembok tak kasat mata yang pejal dan bebal yang memisahkan dan lebih awet dari tembok Berlin. Tembok tersebut dikenal dengan struktur reproduktif dari relasi kuasa yang asimetris.
Dari pengulangan peristiwa politik di atas, politik komedi boleh berfungsi sebagai wacana alternatif terhadap narasi mayor yang (lagi-lagi) akan memantrai publik akar rumput tentang persatuan, perdamaian dan kemajuan.
Tiga mantra tersebut selalu saja efektif bagi Indonesia yang majemuk, berkepulauan, dan berketertinggalan di sana sini.Â
Lantas ketika ada suara yang berani menggugat ketiganya rentan divonis sebagai separatis musuh negara, antinasionalisme; karena itu adalah "public enemy".
Mereka yang divonis antipersatuan, provokator perusuh, dan karenanya, antinegara mudah sekali dihadapi dengan alat-alat represif. Bahkan ketika protes dilakukan tanpa keterlibatan massa aksi besar dan benturan.
Maka, politik komedi, berbeda dengan orasi-orasi di hadapan massa demonstran, memiliki ruang memainkan kritiknya yang khas di titik ini.Â
Semisal dengan menggunakan satire dan dikemas dengan kesenian wayang, lenong atau ludruk. Dengan demikian, estetika pertunjukannya dibentuk oleh kisah, seni peran dan kritik yang terbahak-bahak.
Di percampuran satire dan kesenian, politik komedi mengungkap atau sekurang-kurangnya memberi jarak kepada semua yang seketika tidak boleh diganggu-gugat karena kebenaran satu versi dari arah negara.