Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Membaca Desa, Internet, dan Kemajuan

16 Februari 2024   11:11 Diperbarui: 16 Februari 2024   16:43 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pertemuan warga dan pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Tampelas di tahun 2021| Foto: Yayasan Puter Indonesia

Desa Tampelas hanya sebuah desa kecil namun sudah terbentuk sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Para tetua kampung bercerita jika di masa lalu para penduhulunya pernah diserang wabah penyakit, karena itu memutuskan ke wilayah yang sekarang menjadi desa definitif. Desa yang lama disepakati sebagai pekuburan dan dikenal dengan nama Tampelas Usang.

Desa Tampelas sekarang terbagi kedalam dua Rukun Tetangga (RT) dengan pemukiman yang panjangnya hanya sekitar 1 kilometer di pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan, Kalimantan Tengah. Jalan desanya masih menggunakan jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah panggung.

Selain itu, penduduknya tidak lebih dari 400 jiwa (dalam data Monografi Desa). Di hari-hari yang biasa, jumlah ini bisa banyak berkurang. 

Sumber penghidupan mereka berasal dari aktivitas mencari ikan di sungai, mengelola kebun, bekerja sebagai buruh perkebunan sawit, bekerja di tambang tradisional atau bekerja serabutan. 

Di samping itu, ada banyak juga orang-orang Tampelas yang pergi merantau, terutama golongan yang berusia muda. Paling tidak mereka memilih ke ibu kota kabupaten, di Kasongan. Kasongan bisa ditempuh dengan perahu kelotok dan melanjutkan dengan mobil dari Bahun Bango.

Sekitar tahun 2014, saya memulai perjumpaan dengan orang-orang Tampelas. Sebuah permulaan yang banyak membantu dalam memahami hidup sehari-hari masyarakat Dayak di pinggiran sungai. 

Bukan saja bergaul, mengenal penduduknya yang tidak seberapa banyak. Saya bahkan diangkat anak oleh salah satu warga senior (senior citizen). 

Dan yang paling substansial dari perjumpaan ini adalah mendengar kisah-kisah para tetua dan anak-anak muda tentang sebuah zaman.

Zaman Perburuan Kayu dan Kelimpahan. Zaman itu lazim disebut sebagai zaman kayu, di sekitar 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Zaman dimana perusahaan-perusahaan besar mempekerjakan orang-orang dari luar dan dari kampung untuk menebang kayu. 

Segala macam kayu ditebang, bukan saja yang diijinkan. Sebab ini juga, yang legal dan ilegal bercampur sedemikian liarnya.

Di masa ini, kebanyakan desa-desa di DAS Katingan tidak pernah sesepi sekarang. Selain orang yang banyak dari bermacam latar, aktivitas hilir mudik membawa kayu keluar masuk hutan adalah pemandangan harian. Ditambah keramaian lalu lintas perahu dan speedboat di sungai. Tampelas tak terkecuali. 

Ada bos-bos kayu yang menyewa rumah-rumah warga di Tampelas dimana pekerja tinggal di sini. Ada banyak juga warga desa yang terlibat dalam penebangan kayu. Pendek cerita, uang tunai begitu mudah didapat walau resikonya juga tinggi. 

Dengan uang tunai yang mengalir dari hutan-hutan yang tumbang, kesenangan dan kenikmatan turut mengalir ke desa. 

Sebagai misal di Desa Tumbang Bulan, tetangga Tampelas yang berada agak jauh di bagian hilir. Seorang kawan yang bermukim di sini berkisah jika desanya pernah dijuluki sebagai Texas-nya Mendawai. 

Mengapa Texas? Karena uang dari penebangan kayu membuatnya berkembang sebagai pusat hiburan kecil yang nyaris tak pernah tidur. "Siang dan malam nyaris tak bisa dibedakan, sama ramainya." Kenang kawan itu.

Berbeda lagi dengan Desa Galinggang, yang bertetangga wilayah dengan Tampelas. Desa yang memiliki 10 Rukun Tetangga ini pernah mendatangkan artis ibukota seperti Doyok sekadar berdangdut di sini. 

Zaman itu, saking banyaknya, uang sering menjadi alat taruhan pada saat kompetisi sepakbola antar desa di musim perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Belum lagi untuk kesenangan yang berkaitan dengan hiburan malam.

Akan tetapi, Desa-desa tersebut tak memiliki listrik yang cukup, tak ada fasilitas air bersih layak, dan tak ada fasilitas komunikasi yang pantas. 

Lantas, ketika negara hadir untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) di tahun 2011, hidup sehari-hari warga lokal seperti terbebas dari ilusi keberlimpahan materi. 

Orang-orang seolah dilempar kembali kepada kemiskinan dan keterbatasan daya dukung penghidupan. 

Sebagaimana dalil yang dikenal dalam teori "Kutukan Sumberdaya Alam" (Resource Curse): wilayah kaya sumberdaya alam namun penduduknya tak keluar dari garis kemiskinan.

Ikan Toman hasil tangkapan warga Tampelas yang diperoleh di sekitar DAS Katingan | Foto: S Aji
Ikan Toman hasil tangkapan warga Tampelas yang diperoleh di sekitar DAS Katingan | Foto: S Aji

Tampelas Hari Ini. Di Tampelas dan Galinggang, saya menghabiskan hampir 2 tahun menetap (2014-2016). 

Di tahun 2021 kemarin, saya kembali ke Tampelas untuk penugasan pendampingan yang difasilitasi Yayasan Puter Indonesia. Yayasan Puter jugalah yang memungkinkan saya datang ke DAS Katingan di 7 tahun yang lalu.

Apakah Desa Tampelas banyak berubah sesudah melewati dua kali Pemilihan Presiden? 

Saya hanya akan sedikit bercerita dua perubahan mendasar.

Secara infrastruktur, ada satu perubahan mencolok. Sekarang Tampelas sudah memiliki listrik desa sendiri buah dari kolaborasi Pemerintah Desa dengan PT. Rimba Makmur Utama (RMU). 

RMU adalah pemegang izin restorasi hutan rawa gambut yang konsesinya terletak di antara Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur.

Hal kedua yang di masa lalu belum terbayang adalah Pemerintah Desa kini mendapatkan izin mengelola hutan. Izin yang dikenal dengan Perhutanan Sosial. Karena itu sekarang telah berdiri Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).

Dengan kewenangan yang termuat dalam Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), diharapkan pemerintah dan warga Tampelas bisa mengelola hutan dalam agenda yang saling menguatkan. 

Yaitu agenda konservasi atau pelestarian dan pemulihan kawasan hutan terdegradasi serta agenda peningkatan kesejahteraan ekonomi. 

Agenda Perhutanan Sosial menjadi sentral karena wilayah Tampelas berupa kawasan sungai dan hutan rawa gambut yang berbatasan dengan Kawasan Taman Nasional Sebangau di Timur juga konsesi perkebunan Sawit di sebelah Barat. 

Boleh dikata, nasibnya berada dalam tegangan agenda konservasi versus perkebunan. 

Faktualitasnya, banyak areal hutan Tampelas sudah terdegradasi karena terdampak perburuan kayu di masa lalu serta kebakaran hutan dan lahan (karhutlah) yang berulang, terutama di musim kemarau. 

Sedang ekosistem kunci seperti danau, tegakan hutan yang menjadi jalur perlintasan Orangutan dan Bekantan di sebelah Timur, serta sumber-sumber perikanan tangkap juga dalam status terancam. Apalagi bila tidak dilindungi dengan "cara-cara ekstra".

Persoalannya, kepentingan yang bersifat makro-lanskap di atas bukanlah perkara yang bisa serta merta disepakati seluruh warga. Konsekuensinya, ideal yang termandatkan dalam skema Perhutanan Sosial belum tentu selaras dengan agenda pembangunan desa. 

Belum lagi proses ini cenderung terdisrupsi oleh siklus reproduksi kekuasaan di level desa.

Tentu saja "dilema ekologi" Tampelas barulah satu perkara dari hidup sehari-hari masyarakat pinggiran sungai Katingan, Kalimantan Tengah. 

Masih banyak masalah yang berkelindan dengan ketaksetaraan akses pendidikan, layanan air bersih dan MCK (ingatlah jika mayoritas warga desa masih melakukan aktivitas domestik dengan bergantung pada aliran sungai yang keruh sepanjang tahun), dan akses layanan kesehatan yang memadai, juga layanan komunikasi yang murah dan setara. 

Saat saya menulis cerita ini, seorang kawan di Katingan mengabarkan jika Tampelas, Galinggang dan Tumbang Bulan masihlah tipe desa tanpa akses internet. Ironis.

Suasana pertemuan warga dan pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Tampelas di tahun 2021| Foto: Yayasan Puter Indonesia
Suasana pertemuan warga dan pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Tampelas di tahun 2021| Foto: Yayasan Puter Indonesia

Internet dan Pemulihan Hidup Bersama. Dalam konteks yang terbatas ini, saya hanya ingin mendiskusikan satu pertanyaan besar yang menghantui proyek-proyek pemberdayaan masyarakat pinggiran sungai dan hutan. 

Andai kita memilih agenda besar masyarakat Tampelas adalah memulihkan sumber-sumber penghidupan yang terdegradasi sekaligus menjaga kelestarian ekosistem rawa gambut yang tersisa, manakala kita membicarakan internet cepat dan gratis untuk warga desa, bagaimanakah dukungan teknologi ini mendorong kemajuan? 

Kemajuan macam apa yang dibayangkan orang-orang di pusat pertumbuhan bagi orang-orang desa yang tak pernah mereka temui; kemajuan versi siapa?

Kita bisa bersetuju bahwa internet adalah "The Great Equalizer", penyetara yang hebat. Dengan fasilitasi internet, umat manusia kekinian tersambung dengan bermacam informasi dari segala macam sumber. 

Dengan akses internet yang bagus, orang-orang bisa mencari pengertian yang segera atas hal-hal yang sebelumnya tidak bisa serta merta bekerja. 

Tak sebatas itu, dalam keberlimpahan yang disediakan digitalisme, ada ancaman terhadap data pribadi yang disebut sebagai "the New Oil" alias minyak baru yang mendatangkan profit ekonomi.

Secara kolektif, internet berpotensi sebagai "senjata melawan ketimpangan". Sekurangnya memfasilitasi kesenjangan informasi.

Keberlimpahan informasi yang difasilitasi internet (seharusnya) bisa membantu Pemerintah dan warga desa menyusun rencana pembangunan yang mewujudkan visi hidup bersama. Akan tetapi, kita paham benar, proses ini tidak bisa berlaku otomatis. 

Dalam kasus Desa Tampelas, pertanyaannya yang lebih spesifik bisa diajukan misalnya seperti ini. 

Bagaimana penggunaan internet membantu Lembaga Pengelola Hutan Desa membangun sistem monitoring kawasan hutan yang secara real-time memantau perubahan situasi harian di wilayah kelola yang mencapai ribuan hektar?

Pertanyaan di atas bakal menuntun kita pada tantangan proses yang berlapis. 

Ada banyak sekali prasyarat, baik sosial, kultural, tidak sebatas infrastruktural, yang mesti dibenahi terlebih dahulu. Jadi, perkara kecepatan, ketersediaan dan akses barulah satu hal yang justru bisa bekerja kontra-produktif.

Dengan maksud lain, jika kecepatan dan ketersediaan internet bagi warga desa tidak diskenariokan dalam penguatan otonomi desa yang inklusif, berkemakmuran dan berkelanjutan, sepertinya kita bakal berhadapan dengan "bencana internet".

Bencana itu semisal ketersediaan internet hingga ke kampung-kampung yang jauh justru menjadi ladang bagi pornografi, terutama terhadap golongan remaja hingga anak-anak. 

Internet barulah daya dorong, katalisator. 

Ia jelas membutuhkan banyak prasyarat agar menjadi bagian dari terciptanya kesetaraan, kemakmuran, dan keberlanjutan di desa-desa yang masih terisolasi di dunia yang dilipat oleh kecepatan informasi. 

Ironisnya, proses pemenuhan syarat yang dimandatkan cita-cita kemerdekaan itu tidak selalu bisa, kalau bukan gagal, dipenuhi oleh negara beserta infrastrukturnya.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun