Agenda Perhutanan Sosial menjadi sentral karena wilayah Tampelas berupa kawasan sungai dan hutan rawa gambut yang berbatasan dengan Kawasan Taman Nasional Sebangau di Timur juga konsesi perkebunan Sawit di sebelah Barat.Â
Boleh dikata, nasibnya berada dalam tegangan agenda konservasi versus perkebunan.Â
Faktualitasnya, banyak areal hutan Tampelas sudah terdegradasi karena terdampak perburuan kayu di masa lalu serta kebakaran hutan dan lahan (karhutlah) yang berulang, terutama di musim kemarau.Â
Sedang ekosistem kunci seperti danau, tegakan hutan yang menjadi jalur perlintasan Orangutan dan Bekantan di sebelah Timur, serta sumber-sumber perikanan tangkap juga dalam status terancam. Apalagi bila tidak dilindungi dengan "cara-cara ekstra".
Persoalannya, kepentingan yang bersifat makro-lanskap di atas bukanlah perkara yang bisa serta merta disepakati seluruh warga. Konsekuensinya, ideal yang termandatkan dalam skema Perhutanan Sosial belum tentu selaras dengan agenda pembangunan desa.Â
Belum lagi proses ini cenderung terdisrupsi oleh siklus reproduksi kekuasaan di level desa.
Tentu saja "dilema ekologi" Tampelas barulah satu perkara dari hidup sehari-hari masyarakat pinggiran sungai Katingan, Kalimantan Tengah.Â
Masih banyak masalah yang berkelindan dengan ketaksetaraan akses pendidikan, layanan air bersih dan MCK (ingatlah jika mayoritas warga desa masih melakukan aktivitas domestik dengan bergantung pada aliran sungai yang keruh sepanjang tahun), dan akses layanan kesehatan yang memadai, juga layanan komunikasi yang murah dan setara.Â
Saat saya menulis cerita ini, seorang kawan di Katingan mengabarkan jika Tampelas, Galinggang dan Tumbang Bulan masihlah tipe desa tanpa akses internet. Ironis.
Internet dan Pemulihan Hidup Bersama. Dalam konteks yang terbatas ini, saya hanya ingin mendiskusikan satu pertanyaan besar yang menghantui proyek-proyek pemberdayaan masyarakat pinggiran sungai dan hutan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!