Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Minggu Tenang di Bandung

13 Februari 2024   13:05 Diperbarui: 27 Februari 2024   07:43 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut lapangan Gasibu, Bandung | Foto: S Aji

Jam 04.10 WIB. Saya terjaga sebagaimana yang sudah direncanakan.

Sesudah lebih dari sepekan menghabiskan waktu di sekitar Kaliurang, Yogyakarta yang terik, tumbuh kangen yang membesar dengan gigih. Kangen kepada udara Bandung yang relatif sejuk, terutama karena berlari pagi-pagi di sekitar Lapangan Gasibu. 

Letaknya yang berada di antara Jalan Surapati dan Gedung Sate membuat Gasibu seperti oase di padang pasir. Ia adalah tempat memulihkan diri di tengah deru padat kendaraan, kerja dan keramaian informalitas (penjaja sate, gorengan, minuman kemasan, dll).

Sebab itu, pagi ini adalah waktunya menanggalkan kepenatan.

Waktu baru menunjukan jam 5 lewat 15 menit. Sesudah segalanya siap, termasuk melakukan pemanasan, saya berlari pelan melewati jalanan kompleks di Jalaprang hingga bersua Jalan Surapati. 

Saya menyusuri jalan ini, melewati Pasar Awug hingga ke kompleks Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) Jawa Barat. Setiap pagi, paling tidak sekitar jam 6 hingga 9, pertigaan kecil yang terletak di sekitar sini selalu lebih padat kendaraan. 

Karena itu, saya memutuskan mengambil jalur kiri. Kemudian meniti ruas Jalan Dipongoro yang agak sepi dan masih remang-remang. 

Selanjutnya melewati gedung RRI Bandung dan Museum Geologi hingga tiba di depan Gedung Sate. Rute ini boleh disebut sebagai "Sepanjang Jalan Cuanki". 

Di malam hari, kawasan ini memang ramai dengan penjaja Cuanki yang berjejal sepanjang 1 kilometer.

Ruas Jalan Surapati dan Diponegoro yang terhubung dengan Lapangan Gasibu, Bandung | Diolah dari Google Maps
Ruas Jalan Surapati dan Diponegoro yang terhubung dengan Lapangan Gasibu, Bandung | Diolah dari Google Maps

Sesudah berlari sejauh 2 kilometer, saya sampai di depan Gasibu yang belum terlalu ramai. Beberapa lampu jalan bahkan masih benderang.

Tapi, saya menghindari berlari di lintasan (track). Lebih memilih berlari di trotoar yang mengelilingi Gasibu dengan jarak satu putarn sejumlah 600 meter. Dengan begitu, saya membutuhkan 5 kali putaran untuk mencapai 5 kilometer. 

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak! Siapakah yang bisa menunda kehendak buang air besar di tengah napas yang ngos-ngosan? 

Saya terpaksa harus mampir sebenar ke toilet. Lalu melanjutkan menuntaskan putaran yang tersisa. Tepat pada 5,1 kilometer, saya berhenti dan melakukan pendinginan dengan berjalan mengelilingi Gasibu yang makin ramai. 

Ada banyak dari mereka yang masih muda, yang berlari dengan outfit dan effort yang membedakan. Juga serombongan lansia yang berjalan pelan sambil bercakap, dan grup kecil remaja tanggung yang ingin berolahraga pula. 

Beberapa petugas berseragam berdiri mengawasi sedangkan yang berpakaian kebersihan sedang menyapu dedaunan yang berserak di sepanjang trotoar. 

Gasibu terlihat sebagai ruang yang mempertemukan (produksi) kerutinan urban dan keberjarakan terhadap kerutinan tersebut.

Sesudah menegak air minum dan beberapa gerakan pendinginan, saya masih mengelilingi lintasan dua kali. Lantas balik kanan, menelusuri Jalan Surapati, kembali ke Jalaprang.

Salah satu sudut lapangan Gasibu, Bandung | Foto: S Aji
Salah satu sudut lapangan Gasibu, Bandung | Foto: S Aji

Saat kembali, jam sudah menuju pukul 7 pagi. Jalanan mulai ramai dengan anak sekolah, para pekerja dan ASN yang memulai rutinitas ke tujuannya masing-masing. Suara menderu-deru kendaraan mulai bersahutan. 

Bandung tampak mulai bergeliat. Bekerja, karir, dan pergerakan ekonomi adalah satu hal. Tapi kota yang menjaga udara segar dan pemandangan hijau adalah ciri spesifik Bandung yang lain. 

Bandung memang telah sejak lama, sekurangnya sejak akhir abad ke-19, didesain sebagai kota utama kolonial yang nyaman di Hindia Belanda. Sebagaimana tercermin dalam julukan Paris van Java atau bahkan Paradise in Exile. 

Udara sejuk yang ngangenin masih setia mengikuti ujung hidung dan menempel di kaos basah adalah jejak warisannya.

Sembari berjalan ringan menyusuri trotoar, saya melihat tali rafia yang berjuntaian di batang pepohonan yang berderet mengikuti trotoar. Saya seketika tersadar. Sisa-sisa tali itu adalah pengikat APK para Caleg yang sudah dibersihkan. 

Di antara para Caleg itu adalah si pelantun Laskar Pelangi. Sekaligus mantan ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebelum digantikan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo. 

Saya terus disadarkan kedua kali. Hari ini adalah minggu yang tenang di seluruh Indonesia. 

Pepohon di sekitar Surapati yang sudah bersih dari APK Caleg | Foto: S Aji
Pepohon di sekitar Surapati yang sudah bersih dari APK Caleg | Foto: S Aji

Minggu yang tenang bagi Pemilu sesungguhnya hanyalah pembatasan administratif dari hiruk pikuk kampanye. 

Karena itu, sangat bisa jadi, ketenangan yang dimaksud hanya berlangsung di permukaan atau pada segala aktivitas yang tampak dan terlarang oleh aturan belaka. 

Di balik itu semua, hidup sehari-hari tidak pernah benar-benar tenang. Lebih persisnya, politik di masa kontestasi maupun paska-kontestasi tidak pernah membuat hidup sehari-hari terbebas dari "kutukan arena untuk survive".

Bahkan ketika hidup tampak tenang, harmonis, dan penuh kasih sayang, manusia tetap harus survive agar tidak memberi ruang bagi perkembangbiakan naluri-naluri subhuman; menjaga ruang hidup tetap beradab.

Ironisnya, kontestasi politik yang berdampak langsung pada nasib kehidupan bersama (karena itu "sentral"), seringkali kehilangan kapasitasnya dalam mengelola terjaganya ruang yang tetap beradab itu. 

Paling sering ketika politik yang dekaden bertemu massa ditunjang matinya moral atau etika. Siapa saja yang menolak bersetuju bisa seketika disasar malapetaka. 

Pagi ini, di dua kilometer ruas jalan yang menyambungkan Surapati-Diponegoro-Gasibu, saya menyusuri minggu tenang dengan pikiran yang lega. Telah melunasi rasa kangennya dengan sejuk udara Bandung. 

Bahkan ketika para pelajar, ASN, dan pekerja mulai bergerak di bawah matahari, udara sejuk itu tetap bertahan.

Saya melangkah ringan menuju Jalaprang. Bersama jadwal zoom yang mengikuti di belakang.    

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun