Bandung memang telah sejak lama, sekurangnya sejak akhir abad ke-19, didesain sebagai kota utama kolonial yang nyaman di Hindia Belanda. Sebagaimana tercermin dalam julukan Paris van Java atau bahkan Paradise in Exile.Â
Udara sejuk yang ngangenin masih setia mengikuti ujung hidung dan menempel di kaos basah adalah jejak warisannya.
Sembari berjalan ringan menyusuri trotoar, saya melihat tali rafia yang berjuntaian di batang pepohonan yang berderet mengikuti trotoar. Saya seketika tersadar. Sisa-sisa tali itu adalah pengikat APK para Caleg yang sudah dibersihkan.Â
Di antara para Caleg itu adalah si pelantun Laskar Pelangi. Sekaligus mantan ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebelum digantikan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo.Â
Saya terus disadarkan kedua kali. Hari ini adalah minggu yang tenang di seluruh Indonesia.Â
Minggu yang tenang bagi Pemilu sesungguhnya hanyalah pembatasan administratif dari hiruk pikuk kampanye.Â
Karena itu, sangat bisa jadi, ketenangan yang dimaksud hanya berlangsung di permukaan atau pada segala aktivitas yang tampak dan terlarang oleh aturan belaka.Â
Di balik itu semua, hidup sehari-hari tidak pernah benar-benar tenang. Lebih persisnya, politik di masa kontestasi maupun paska-kontestasi tidak pernah membuat hidup sehari-hari terbebas dari "kutukan arena untuk survive".
Bahkan ketika hidup tampak tenang, harmonis, dan penuh kasih sayang, manusia tetap harus survive agar tidak memberi ruang bagi perkembangbiakan naluri-naluri subhuman;Â menjaga ruang hidup tetap beradab.
Ironisnya, kontestasi politik yang berdampak langsung pada nasib kehidupan bersama (karena itu "sentral"), seringkali kehilangan kapasitasnya dalam mengelola terjaganya ruang yang tetap beradab itu.Â