Sesudah berlari sejauh 2 kilometer, saya sampai di depan Gasibu yang belum terlalu ramai. Beberapa lampu jalan bahkan masih benderang.
Tapi, saya menghindari berlari di lintasan (track). Lebih memilih berlari di trotoar yang mengelilingi Gasibu dengan jarak satu putarn sejumlah 600 meter. Dengan begitu, saya membutuhkan 5 kali putaran untuk mencapai 5 kilometer.Â
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak! Siapakah yang bisa menunda kehendak buang air besar di tengah napas yang ngos-ngosan?Â
Saya terpaksa harus mampir sebenar ke toilet. Lalu melanjutkan menuntaskan putaran yang tersisa. Tepat pada 5,1 kilometer, saya berhenti dan melakukan pendinginan dengan berjalan mengelilingi Gasibu yang makin ramai.Â
Ada banyak dari mereka yang masih muda, yang berlari dengan outfit dan effort yang membedakan. Juga serombongan lansia yang berjalan pelan sambil bercakap, dan grup kecil remaja tanggung yang ingin berolahraga pula.Â
Beberapa petugas berseragam berdiri mengawasi sedangkan yang berpakaian kebersihan sedang menyapu dedaunan yang berserak di sepanjang trotoar.Â
Gasibu terlihat sebagai ruang yang mempertemukan (produksi) kerutinan urban dan keberjarakan terhadap kerutinan tersebut.
Sesudah menegak air minum dan beberapa gerakan pendinginan, saya masih mengelilingi lintasan dua kali. Lantas balik kanan, menelusuri Jalan Surapati, kembali ke Jalaprang.
Saat kembali, jam sudah menuju pukul 7 pagi. Jalanan mulai ramai dengan anak sekolah, para pekerja dan ASN yang memulai rutinitas ke tujuannya masing-masing. Suara menderu-deru kendaraan mulai bersahutan.Â
Bandung tampak mulai bergeliat. Bekerja, karir, dan pergerakan ekonomi adalah satu hal. Tapi kota yang menjaga udara segar dan pemandangan hijau adalah ciri spesifik Bandung yang lain.Â