Semestinya, sebagaimana sejak memiliki hak suara di tahun 1999, hari-hari menjelang Pemilu seperti sekarang ini dimaknai sebagai hari-hari penuh ketidakpedulian.Â
Dan karenanya, sebagai jelata di garis sejak lahir-sampai kini-sampai mati, ia menjadi hari-hari yang tidak usah dibebani dengan harapan muluk-muluk.
Eh tapi, sebenarnya, pernah ada sedikit harapan. Yaitu sesudah kemunculan seorang Walikota di Solo, tahun 2005.Â
Dalam diri Walikota yang satu ini mengalir darah jelata yang sungguh-sungguh, bukan jenis jelata yang diasingkan dari keluarga kaya berdarah dinasti. Termasuk tidak memiliki persilangan keluarga militer yang kawin mawin dengan penguasa ekonomi.Â
Walikota ini seolah bintang terang. Ia terus mendaki puncak dan menjalani mandat Gubernur DKI dan Presiden selama dua periode.Â
Ia, paling tidak, membawa blusukan, sesuatu yang hilang dalam pengelolaan kekuasaan. Blusukan bekerja layaknya metode dalam mendengar, menganalisas dan menyelesaikan masalah dari lapangan.Â
Blusukan di tangannya seolah jalan tengah dari teknokratisme dan populisme ketika perumusan kebijakan pembangunan.
Ia diceritakan terbiasa bekerja dengan detil, paramater yang rinci hingga eksekusi yang terukut. Sebab ini, media massa pernah menjulukinya "Man of Action", bukan "Man of Idea", apalagi "Man of Senja", eaaa.Â
Tapi, akhir-akhir ini, si Walikota yang mantan pengusaha mebel itu seperti orang asing. Orang yang mengunci telinga dari teguran publik dan memilih menghadirkan kekecewaan bagi banyak pendukungnya.
Mungkin karena perkembangan ini, bagi jelata yang berpindah-pindah pinggiran demi menjaga nasib keluarga dari kenestapaan, hari-hari menjelang Pemilu 5 tahunan tidak lebih produksi omong besar, omong berulang hingga omong yang sia-sia (lagi).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!