Konteks kedua, adalah pergulatan yang dibentuk oleh persaingan dua kutub borjuasi lokal. Energinya menghidupi sosok Idroes Moeria dan Soedjagad.Â
Persaingan yang tak cuma melibatkan kontrol atas produksi kretek memang tidak banyak diekspos dalam versi series. Padahal jejak konflik keduanya adalah arena ketegangan yang diwarisi dan menentukan masa depan Jeng Yah.
Dari ketegangan ini, kita diperlihatkan (lagi) dengan perselingkuhan antara borjuasi dan militerisme di tahun 1965/66.Â
Dendam Soedjagad yang bahkan berakar hingga ke perebutan asmara mengakibatkan Idroes Moeria masuk kedalam daftar merah. Daftar orang-orang yang diburu operasi militer tanpa pengadilan yang patut.
Di samping itu, ayah dari Purwanti jatuh hari pada Soeraja muda (Ario Bayu). Anak muda yang sempat terlunta-lunta sebelum diselamatkan kebaikan Idroes Moeria memiliki kapasitas yang memungkinkan bisnisnya mencapai kontrol tertinggi dari persaingan industri tembakau.
Romantisme menjadi rumit dikarenakan Jeng Yah dan Soeraja yang sedang dalam gejolak asmara diperhadapkan dengan lamaran Seno Aji. Sedangkan Purwanti yang manis, sabar dan tidak memiliki ambisi muluk-muluk menaruh cinta yang sepanjang hayat kepada Soeraja.Â
Ketegangan dalam hubungan semacam ini bukan saja mengancam Jeng yah dan Soeraja. Ia mengancam semua anggota keluarga dan status sosial-ekonomi yang melekat di dalamnya. Ketegangan yang berpotensi menjadi monster sebagaimana negara.
Sayangnya, versi series tidak cukup lantang memberi latar belakang dari tragedi 1965-1966.Â
Padahal pesaingan bisnis dan militer bisa melukiskan tragedi sebagai proyek yang didesain, bukan sesuatu yang tiba-tiba hadir dan merampas hidup orang-orang baik.
Ketiga, konteks yang menjadi pergulatan adalah bagaimana perempuan melewati hidup paska-tragedi.Â
Gadis Kretek produksi Netflix (terlalu) meletakkan Jeng Yah dan Soeraja sebagai sumbu utama penderitaan, kesedihan, dan penyesalan. Dalam hidup keduanya, kekuasaan yang bengis telah memaksa Jeng Yah bertahan hidup dari kehancuran harap. Di sisi yang lain, Soeraja sepanjang hidupnya menanggung perasaan bersalah di atas kekayaan yang berlimpah.Â