Menuju Titik Nadir. Entah mengapa, salah satu pelatih paling sukses di tiga liga besar dunia ini terus saja menapaki jejak sejarah yang terseok-seok.Â
Sesudah dekade penuh kegemilangan di Portugal, Inggris, Italia dan Spanyol, Mourinho seperti tak memiliki titik balik. Sentuhannya melempem di MU, menjadi medioker di Hotspurs dan AS Roma tetap saja tidak menjadi sesuatu yang mengerikan.
Kemasyuran yang diraihnya bersama Chelsea di daratan Britania dan Inter Milan dengan treble winner yang langka untuk klub-klub Serie A itu seperti cerita dari negeri dongeng sebelum pandemi Covid-19.
Memang ada beda yang lumayan timpang di dua era yang kontradiktif dari sejarah Mourinho.Â
Di Chelsea, dia memiliki John Terry di belakang, Frank Lampard di tengah dan Didier Drogba di depan--tiga sosok dengan mentalitas pemenang serta kharisma seorang juara. Sama halnya di Inter Milan, ia memiliki Walter Samuel di belakang, Sneider atau Cambiasso di tengah dan Milito atau Etoo di depan; karakter yang memiliki mentalitas petarung.Â
Sementara ketika di AS Roma? Apa yang dia miliki?Â
Siapa yang berkapasitas menjadi pemimpin di garis belakang? Siapa yang menjadi dirigen dan otak kreativitas di tengah? Lantas, apa yang bisa dilakukan sosok sebiasa-biasa saja level Lukaku dan Dybala (yang sudah habis)?Â
Tidakkah AS Roma berisikan sederet bayangan di hadapan senjakala saja.
Namun, tampaknya, yang dialami AS Roma dengan nasib medioker tanpa ujung ini hanyalah catatan kaki. Teks utamanya adalah refleksi dari keberadaan Serie A yang terus-terusan betah sebagai medioker global.Â
Tidak lagi ada uang yang berlimpah datang, dominasi siaran langsung di akhir pekan dan bintang-bintang papan atas yang memilih berkompetisi di sini, seperti dekade 90-an.Â
Jangan-jangan, bagi pelatih top dunia, jika tidak menguji kompetensi ke Inggris, maka lebih baik di La Liga atau Liga Perancis. Atau, sekalian ke liga Arab Saudi, bal-balan kasta tiga tapi duit kasta surga.