Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Mama, Noken, dan Natal

25 Desember 2023   09:57 Diperbarui: 25 Desember 2023   22:56 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama membawa noken. (Dok Ricky Martin/nova.grid.id)

Tentu saja, di dalam noken yang kokoh itu, aku merasa terlindungi. Merasa sebagai anak kecil yang diberkati. 

Kemudian, ketika musim panen tiba, aku akan berbagi ruang dengan petatas atau wortel di dalam noken. Namun jika hasil panen itu berlimpah, maka Mama akan menggendongku di pinggangnya sembari memikul noken yang penuh. 

Ketika adikku lahir dan sudah mulai bisa diajak ke kebun, aku memiliki tugas yang baru. 

Aku tidak lagi berada di dalam noken itu, sekarang tempat itu jelas milik adikku. Aku harus membawa peralatan kerja yang ringan, seperti parang dan berjalan di belakang Mama. Begitu juga ketika adik kami yang bungsu lahir, noken itu seketika menjadi takhtanya. 

Masa di mana aku mulai bersekolah ke kota dan merantau ke seberang, kemudian disusul adikku yang nomor dua, noken itu sudah jarang diajak Mama bekerja. Mama juga makin sepuh dan tidak ada di antara kami yang mengisi cerita lanjutan di buku harian Mama. 

Natal. Di salah satu gang perumahan yang tak jauh dari kantor pemerintahan, aku menyambut Natal dengan dada yang sesak. Ini Natal tahun pertamaku, bukan saja jauh dari kampung, tapi berada di tempat yang tidak sepenuhnya kukenali. 

Rumah-rumah di sini begitu padat, nyaris tanpa halaman apalagi tanah terbuka. Penghuninya membangun pagar-pagar setinggi orang dewasa dan pintu rumahnya tidak pernah terbuka, bahkan ketika mereka sedang berada di dalamnya. 

Aku tidak pernah tahu kapan mereka berbicara dengan tetangganya. Hanya dalam 3 bulan pertama, aku lebih tahu pada jam berapa abang batagor melintas dan di jam berapa abang cuanki berjalan menyusuri gang dengan suara ketukannya yang khas.

Aku selalu bersedih berada jauh dari Mama, dan kebunnya. Tapi aku juga bersyukur, karena itu sudah sewajibnya bersungguh-sungguh, dengan sekolah. Tidak banyak anak suku yang mendapat kesempatan beasiswa ke kota-kota besar di sebelah Barat. 

Dan juga, bukankah Mama, noken tua, dan kebunnya adalah saksi dari kerja keras yang selalu berharap aku tidak menjadi orang dewasa yang mengecewakan? 

Tapi yang paling menyesakkan dada adalah di bulan yang seharusnya kudus ini, bukan itu semua. Kota-kota memang selalu tumbuh, membengkak, dan membuat manusia memilih mengurusi dirinya sendiri-sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun