Â
Memeriksa Almanak. Dan kamu tiba-tiba lelah,
mengapa umurmu, almanak
bahkan hidup itu sendiri
ditentukan dari keputusan-keputusan
yang tidak pernah bertanya,
apakah kamu bahagia
di dunia yang modern ini.
Mencabut Rambut Putih. Di setiap helainya
yang tergulung keruwetan nasib,
kamu tiba-tiba ke masa lalu.
Menemukan kembali wajah ibumu
yang khawatir di setiap musim tanam.
Kamu baru sadar: Pembangunan memaksa jelata
menanam beras dimana saja,
tapi merampas hutan dan harapan.Â
Menggosok Kaca Jendela. Ada jendela yang
tak pernah kamu kunjungi;
jendela di halaman belakang.
Kamu menggosok kacanya,
menyanyikan lagu-lagu
kesukaan bapakmu,
seorang pecinta Koes Plus yang suram.
Pagi yang indah sekali,
membawa hati bernyanyi.
Walau gadisku t'lah pergi...Â
Kamu terlambat percaya, kesedihan yang seperti itu
---pagi yang indah dengan hati yang pedih---
adalah akar gelap dari gemuruh demokrasi.
Menyemir Sepatu. Segala lalu tampak renta:
bau semir hitam, tapak sepatu, dan
terutama sekali sajak-sajak
dari sejarah langkah yang surut dan kisut.
Kamu tidak pernah bertengkar
dengan bayanganmu,
seperti dalam sajak Sapardi---kamu tahu itu,
tapi setiap malam, kamu harus selalu
berkelahi dengan ketakutanmu,
tentang siapa yang berhak hidup (lagi)
esok pagi.