Ini adalah versi yang ringkas dari kisah perjalanan sepak bola di daratan Britania Raya. Perjalanan menjadikan sepak bola modern yang dihantar oleh dinamika ketegangan kelas pekerja dengan kelompok aristokrasi.
The English Game. Adalah miniseries yang sudah tayang di platform Netflix pertama kali di tahun 2020 manakala pandemi Covid-19 merebak. Miniseries yang cuma berisi 6 episode ini dikerjakan oleh Julian Fellowes.Â
Julian Fellowes dikenal sebagai seorang aktor berkebangsaan Inggris yang juga seorang novelis, sutradara film, penulis naskah dan anggota Partai Konservatif Inggris.
Miniseries tersebut berkisah satu episode penting dari perjalanan sepak bola di Britania Raya. Penggal waktunya berkisar di antara tahun 1870-an atau 13 tahun sebelum Karl Marx wafat (1883). Saat itu, aturan sepak bola yang masih berusia sangat muda ditentukan oleh segelintir kaum aristokrat atau bangsawan.
Keberadaan kelompok bangsawan menjelaskan eksistensi dari sekelompok kecil elitisme yang menghidupi strata atas masyarakat. Mereka tidak saja kaya raya, atau berkuasa secara politik. Dan yang sama pentingnya adalah memiliki lebih banyak waktu luang bersama kenyamanan yang mewah (Leisure Class).Â
Sedangkan di seberangnya, berdiri kelompok kelas pekerja. Mereka adalah mayoritas yang hidup dengan "menjual tenaganya", sebagai buruh yang menghidupi pabrik-pabrik. Posisi tawar politik mereka ditentukan sejauh mana mereka teroganisir dalam serikat dalam menjaga dan menegakkan hak-hak mereka.Â
Dalam sejarah sepak bola di Britania Raya (Great Britain), ketegangan ini juga terjadi--kalau bukan salah satu unsur yang menentukan gerak sejarah perkembangan sepak bolanya.
Kelompok bangsawan ini diwakili oleh Arthur Fitzgerald Kinnaird dan sirkelnya. Dalam sejarah sepak bola Britania Raya, Arthur Kinnaird bukanlah nama sembarangan.Â
Lahir pada 16 Februari 1847, dia adalah anak dari seorang bankir yang juga anggota parlemen. Arthur wafat pada 30 Januari 1923, 7 tahun sebelum berdirinya PSSI di Jogjakarta.
Siapakah Arthur Fitzgerald Kinnaird?Â
Semasa mudanya, ia cukup berprestasi sebagai seorang olahragawan. Sejak umur 12 tahun, dia telah menjadi kapten di tim sekolahnya, Cheam School. Ketika bersekolah di Eton College, ia menjuarai House Cup di tahun 1861.Â
Jayanta Oinam dalam artikelnya yang berjudul Why Arthur Kinnaird was football’s first ‘superstar’, menceritakan jika sosok ini juga bermain tenis saat berada di Trinity College, Cambridge, selain menjadi juara kano. Di Universitas Cambridge, ia menjadi juara renang.
Lantas, ketika bermain sepak bola di level senior, Arthur Fitgerald menciptakan rekor sebagai satu-satunya yang berhasil bermain di 9 final FA Cup. Dia berhasil memenangkan 5 kali final dengan dua klub berbeda, yaitu Wanderers (3 kali) dan Old Etonians (2 kali), yang terjadi di antara tahun 1873-1883.
Rekor tersebut baru pecah sesudah 128 tahun kemudian. Persisnya di tahun 2010, oleh pesepak bola yang berposisi sebagai bek kiri, Ashley Cole. Cole memenangkan 2 kali lebih banyak dari Arthur, di mana 3 kali dimenangkan bersama Arsenal dan 4 kali ketika membela Chelsea.
Rekor Kinnaird bukan itu saja. Jayanta juga bilang jika sang bankir ini adalah pembuat gol bunuh diri pertama dalam sejarah sepak bola. Kejadian ini terjadi pada final Piala FA 1877 saat ia menjadi penjaga gawang Wanderers di Kennington Oval, London--Arthur Fitzgerald memang dikenal bisa bermain hampir di semua posisi.
Di antara banyak capaiannya itu, satu hal penting lainnya yang membuatnya dihormati adalah kepepimpinannya di Football Association (FA). Di masanya, ia mendorong sepak bola Inggris bergerak ke arah profesional dari posisinya yang amatir, dimainkan di lapangan berlumpur dengan segelintir penonton.Â
Lord Arthur Fitzgerald Kinnaird memimpin FA selama 33 tahun, dari tahun 1890-1923. Beberapa capaian ini membuatnya disebut-sebut sebagai superstar pertama sepak bola dunia.
Apa yang ditorehkan sang Lord dalam sejarah sepak bola Britania tentulah berkelindan dengan kehadiran sosok-sosok yang juga memiliki peran penting. Setidaknya, ada dua nama yang penting diketahui. Keduanya adalah wakil dari kelas pekerja (working class) yang memahami sepak bola lebih dari sekadar kesenangan dalam bermain.
Dua nama itu adalah Fergus Suter dan Jimmy Love, dua orang sahabat. Keduanya datang dari Skontlandia. Fergus Suter bekerja sebagai tukang batu, berkumis tebal, dan berperawakan pendek. Situs Football Makes History mengatakan jika pria ini lahir di Glasgow pada 1857. Adapun Jimmy Love tidak memiliki jalan karier secemerlang koleganya.Â
Fergus Suter dan Jimmy Love mula-mula didatangkan oleh Darwen FC, sebuah klub sepak bola dekat Blackburn yang diisi oleh para pekerja di pabrik kapas, dari Patrick FC di tahun 1878 dengan cara dibayar.Â
Pertandingan Suter yang paling terkenal adalah saat membawa Darwen bermain imbang 5-5 melawan Old Etonians--klub di mana Arthur Fitzgerald Kinniard bermain--di Piala FA.Â
Di tahun 1880, Fergus Suter dibujuk untuk bergabung dengan Blackburn Rovers, tetangga Darwen yang lebih kaya. Blakcburn Rovers membayarnya dengan lebih banyak uang.Â
Di Blackburn, ia menetap selama sembilan tahun dan mencapai banyak kesuksesan. Blackburn memenangkan tiga final Piala FA berturut-turut pada tahun 1884, 1885 dan 1886.
Salah satu kontribusi Fergus Suter dalam perubahan permainan sepak bola di tahun 1880-an ini adalah mengenalkan cara bermain sebagai sebuah kolektivitas kepada rekannya di Darwen FC. Suter menerapkan sepak bola sebagai sebuah permainan yang memanfaatkan ruang, karena itu pemain harus terus bergerak dan bola harus selalu dioper.Â
Cara ini membedakan dengan gaya bermain di masa itu yang masih mirip dengan rugby di mana semua orang bergerak serupa kerumunan yang mengejar sebuah bola. Dengan kata lain, sepak bola yang masih mengandalkan keunggulan fisik individu ketimbang sistem yang dinamis.Â
Ketegangan Kelas, Perjuangan Individu dan Dinamika Sepak Bola.Â
The English Game yang menghabiskan rata-rata 40-an menit dapat diringkas sebagai cerita tentang kiprah sang Lord.Â
Namun, seperti yang tergambar dalam sejarah di atas, ia tak sendirian. Dengan kata lain, aristokrasinya bukanlah satu-satunya energi perubahan yang mengarahkan sejarah sepak bola Britania Raya ke masa depan yang jauh lebih baik.Â
Di miniseries ini, sepak bola sebagai kerangka besarnya memiliki makna yang esensial karena ia menjahit drama individu, pertikaian keluarga dan ketegangan yang terjadi di antara kelas pekerja dan para pemilik modal sebagai motornya. Sebab itu, sepak bola tergambarkan sebagai lanskap kultural yang kompleks, walau disajikan dengan ringkas.Â
Dalam tataran drama keluarga, misalnya. Sang Lord beruntung memiliki seorang istri bernama Mary Alma Victoria Agnew yang berjiwa sosial dan menjunjung tinggi sportivitas. Mary sering menunjukkan sikap kurang setuju dengan cara pandang sirkel suaminya terhadap sepak bola dan pemujaan terhadap kelompoknya sendiri.
Di sisi yang sebaliknya, hidup Fergus Suter yang miskin adalah drama individu yang menarik. Dilahirkan oleh seorang ibu yang kerap kali mendapatkan kekerasan rumah tangga dari suaminya, pemabuk dan sosok yang tidak percaya dengan mimpi-mimpi Fergus Suter.Â
Kemiskinan dan penderitaan adalah motif utama dia meninggalkan Darwen FC, bergabung dengan Blackburn Rovers yang membayarnya lebih mahal.Â
Selain itu, drama yang lain adalah tentang bagaimana perempuan bangsawan terlibat dalam program-program sosial pengasuhan anak-anak yang terlantar, yang kebanyakan adalah anak dari perempuan kelas pekerja. Salah satu yang menonjol di kisah ini peran dari istri Arthur Kinnaird yang sempat mengalami keguguran.
Sedangkan dalam drama pertentangan kelas, ditandai oleh konflik antar para pekerja di pabrik kapas yang merupakan penyokong utama Darwen FC, dengan konsorsium para pemodal yang sering secara sepihak memutuskan pengurangan upah. Ketegangan ini berujung dengan aksi massa kelas pekerja yang berkembang menjadi kerusuhan.Â
Lord Arthur Kinnaird diceritakan sebagai sosok yang mampu menarik dirinya dari sentimen borjuasinya, yang sarat dengan perasaan berkuasa dan berhak menentukan sesuka-sukanya.Â
Dalam salah satu scene, menjelang final Piala FA antara Blackburn Rovers dan klub yang dibelanya, ia dipaksa oleh sirkelnya menggugurkan Blackburn yang dinilai banyak menggunakan "pemain transferan".Â
Namun pikiran-pikiran Fergus Suter yang memaknai sepak bola sebagai bagian dari harapan kelas pekerja tidak boleh dibatalkan karena sentimen segelintir aristokrat yang hanya ingin olahraga ini menjadi hal kesekian yang menegaskan dominasi mereka.Â
Kelas pekerja menghabiskan waktu hampir seminggu untuk menjual tenaga kerja mereka, karena itu di setiap akhir pekan, mereka pergi melihat klub kesayangan mereka bermain sebagai relaksasi terhadap hidup yang berat dan miskin. Demikian kira-kira penegasan Fergus Suter.
Kata-kata itu membuat Lord Arthur Kinniard menyadari bahwa sepak bola adalah milik orang banyak. Perkembangannya tidak bisa dibatasi semata oleh dan untuk kontrol aristokrat cum borjuasi.Â
Olahraga ini akan berkembang menjadi olahraga rakyat. Sebab itu yang mesti diperbaiki adalah tata kelola, bukan membatasi partisipasi.
Di kompleksitas inilah, The English Game cukup baik memperlihatkan karakter Lord Arthur Fitzgerald Kinnaird sebagai pribadi yang mampu membaca arah dari masa depan sepak bola. Sikapnya yang visioner di tahun 1880-an itulah yang menjadi tonggak dari modernisasi sepak bola di Britania Raya.Â
Tak heran jika miniseries yang cuma 6 episode ini mendapat rating 7,6/10 di situs Internet Movie Database. Nama-nama seperti Edward Holcroft yang memerankan Arthur Kinnaird muda dan Kevin Guthrie yang memerankan Fergus Suter muda juga bekerja dengan maksimal.
Miniseries yang seperti ini sepertinya penting diajukan sebagai proyek bagi pegiat industri tontonan tanah air.Â
Dengan begitu, sejarah sepak bola sebagai bagian dari perlawanan terhadap tatanan kolonial memiliki narasinya. Tidak melulu tentang patriotisme di medan perang yang condong militeristik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H