Akumulasinya, di tahun ketiga, tubuh ringkih saya dihantam demam Tipes Stadium 2. Dua minggu kemudian, dirawat khusus di RS. Siti Maryam.
Bagaimanapun haru biru penderitaan yang saya alami karena keputusan yang salah, warung kecil itu tetaplah penyelamat sekaligus peringatan. Sejak keluar dari perawatan khusus, saya memutuskan bercerai seumur hidup dan seluruh jiwa raga dengan Supermi Ayam Bawang.
Berbeda dengan ibu saya--salah satu pengorganisir hidup bertetangga terbaik yang pernah ada--kenangan akan pergulatan menjaga batas aman subsistensi mahasiswa selama di kos-kosan tidak saya rawat hingga kini.Â
Sejak keluar di kos-kosan tersebut, saya memilih melakoni hidup sebagai nomad. Berpindah-pindah alias menumpang dari asrama ke asrama paguyuban.
Sejak hari itu juga, berpuluh tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan warung seperti ini di kaki Gunung Klabat, Minahasa Utara. Pemiliknya adalah keluarga dari Batak, juga keluarga Kristiani.Â
Tentu saja saya tidak lagi datang untuk mengajukan utang. Namun saya masih mendapati percakapan berikut.
"Belum ke Kalimantan lagi?"
"Belum Om, masih di rumah dulu."
Pertanyaan yang mungkin basa-basi tapi rasanya lebih baik dari dialog di bawah ini.Â
"Om, nda sekalian beli Teh Pucuk? Lagi promo. Beli dua cuma, bla..bla..bla.."
***