Percakapan tentang keberadaan, nasib, dan kenangan terhadap warung-warung kecil yang berjasa lantas musnah adalah membicarakan bagaimana masyarakat tumbuh dan patah.
Perjumpaan saya yang semakin akrab dengan jaringan minimarket Indomaret, Alfamart atau Alfamidi terjadi di kota-kota di Jawa, khususnya selama menghabiskan waktu di Jawa Timur. Ini terjadi di sekitar tahun 2014, di masa-masa menjelang Pemilihan Umum.
Di saat yang bersamaan, gerai pertama Indomaret baru dibuka di Manado (Tribun Manado 11/09/2014). Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa Timur, semisal di Malang, Manado mengalami "ketertinggalan" sekitar 14 tahun.Â
Di Kota Malang, gerai Indomaret pertama dibuka pada 22 April 2000. Letaknya berada di Jalan Sarangan Nomor 42 A Lowokwaru (Malang Times Zone 01/01/2020). Sedangkan gerai paling pertama Indomaret dibuka di Ancol, Jakarta Utara 20 Juni 1988 (Wikipedia).
Sejak perjumpaan dengan jaringan ini, saya merasa ada daya dorong lain yang menggerakan desa-desa menuju kota, selain proyek ambisius seperti pembangunan mal, perhotelan, dan perumahan kelas menengah.Â
Kini, tenaga dorong yang menyeragamkan itu berhubungan dengan konsumsi barang-barang keperluan yang sebelumnya tidak cukup dilayani warung tradisional.Â
Dalam rangkaian dinamis konsumsi kolektif ini, apa yang membentuk preferensi seseorang sebagai penduduk kota sedang dipindahkan ke desa-desa. Apalagi, jaringan minimarket itu belakangan menyediakan layanan transaksi non-tunai.
Karena itu, kehadiran gerai dari jaringan ini akan memberi perubahan pada pola orang desa mengonsumsi. Bukan saja pada jenis yang lebih beragam.Â
Di sisi yang lain, boleh dikata, sejarah perkembangan jaringan minimarket ini menandai gerak ekspansi dari Barat ke Timur.Â
Ia menandai kisah pergerakan dari pusat (centre) ke pinggiran (periphery), dari wilayah yang padat ke wilayah yang sepi. Dalam ekspansi inilah, kita melihat nasib surut dari warung-warung tradisional yang umumnya berada di sekitar pemukiman.Â