Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dari "Sarapan Intelijen" Sang Presiden hingga Janji Kemajuan

21 September 2023   20:49 Diperbarui: 22 September 2023   07:37 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlawanan Masyarakat Pulau Rempang terhadap Rencana Pembangunan Rempang Eco City. (FOTO: Antara/Teguh Prihatna via KOMPAS.com)

Di tengah tawaran antara keberlanjutan dan pembaharuan, tesis dan antitesis koalisi politik--walau kita tahu itu dikotomi ini segera akan tampak sebagai slogan kosong kekuasaan belaka--sang Presiden bicara tentang sarapan paginya yang memicu kontroversi, pembelaan dan kritik.

Tentu bukan sarapan pagi jelata seperti saya dan Anda yang rutinitasnya adalah linimasa sosial media atau dinding Kompasiana. Sarapan pagi sehari-hari seorang kepala negara bahkan di hari-hari terakhirnya adalah data dan analisis intelijen. 

Ini adalah level sarapan yang menunya adalah sekumpulan informasi, proyeksi, rekomendasi, tentang situasi yang tidak banyak dibicarakan media pemburu klik, televisi pemburu sensasi, dan apalagi netizen penganut jalan tanggung konspirasi. Menu dengan pembicaraan tentang apa yang tak tampak di permukaan namun bergerak dalam diam. 

Level sarapan bukan saja membedakan posisi kita yang berbeda dalam hirarki kekuasaan, walau konon yang seperti saya adalah sumber mandatnya. Tapi yang sama pentingnya adalah otoritas dan legitimasi yang melekat padanya. 

Itu sebenarnya bermakna sarapan pagi Presiden bukanlah hal yang luar biasa, seperti yang disampaikan para pembantunya. Sarapan tersebut menjadi tidak biasa karena diceritakan kepada khalayak, di muka orang banyak.

"Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti," kata sang Presiden di depan peserta Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (16/9/2023).

Pernyataan tentang jeroan partai yang bersumber dari analisa intelijen bukan satu-satunya hal yang disampaikan di rapat tersebut. 

Presiden terutama sekali bicara tentang suksesi kepentingan nasional dan ambisi negeri ini menjadi negara maju. Menjadi negara post-kolonial sekaligus post-otoritairan yang tidak mengulang pengalaman kelam negara-negara di Amerika Selatan.

Negara-negara di kawasan yang melahirkan perselingkuhan intelijen Amerika Serikat dan Junta Militer lokal, Teori Ketergantungan (Dependency Theory), Teologi Pembebasan hingga Chico Mendez dan Maradona itu mengalami apa yang disebut middle income trap.

"Ini penting, 2024, 2029, 2034, itu sangat menentukan negara kita bisa melompat menjadi maju atau kita terjebak dalam middle income trap, terjebak pada jebakan negara berkembang." (Kompas.com: 19/09/23).

Jadi, kegusaran akan kepemimpinan nasional dan koalisi yang menjaga tiga momentum pemilu di depan tetap dalam ambisi menjadi negara maju adalah gambar besarnya. Analisis intelijen hanyalah salah satu saja sumber justifikasinya. 

Masalahnya, sekali lagi, mengapa yang seperti ini mesti dibicarakan dalam rapat yang tidak dihadiri para pembantu Presiden? 

Dengan berbagi kegusaran seperti itu, apa yang ingin dicapai seorang kepala negara yang tampaknya tidak akan sehaluan dengan partai dari mana dirinya berasal?

Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang ingin dicapai. Termasuk retak suam-suam kuku koalisi atau fusi pura-pura oposisi. 

Satu-satunya yang kita tahu adalah kita dengan judul besar JELATA tidak berada di dalam segala macam kerumitan pengaturan dan perpecahan elite politik itu. Kita hanya membaca apa yang mereka ingin media beritakan tentang mereka.

Mereka adalah pertunjukan dengan judul-judul politik yang sudah sering kita dengar setiap kali pemilu datang. Di dalam semua ini, mereka hanyalah pengulangan yang secara jitu menggunakan batas-batas ingatan kita sebagai jelata. Pengulangan itu meliputi janji-janji akan kemajuan. 

Mari kita bicarakan bagian yang terakhir ini saja: Janji Kemajuan.

Peringatan dari Kritik Sosiologi. Para penstudi sosiologi pembangunan sudah diberi tahu sejak tahun 1960-an bahwa kemajuan bukanlah kata yang netral, apalagi berkembang dari ruang hampa. 

Pembangunan dan kemajuan tidak saja bisa berjalan dalam ketegangan antara janji dan praktiknya. Namun juga melibatkan proses-proses politik bahkan intelijen dalam menjadikannya sebagai paket ideologi yang dominan. Dan, ia tak sepi dari penentangan, intelektual maupun sosial.

Pembangunan mewakili proses sosial-ekonomi-politik kompleks yang selalu gagal menyembunyikan kontradiksi internalnya. 

Dalam situasi ini, apa yang disebut menjadi modern bagi mazhab Modernisasi bisa jadi atau penghisapan pusat terhadap pinggiran bagi mazhab Ketergantungan. Yang disebut sebagai demokrasi yang stabil bagi kelompok Modernisasi bisa jadi adalah kemunculan malu-malu negara otoriter birokratis bagi kelompok Ketergantungan. 

Dan, apa yang menjadi obyek sengketa teoritik kedua aliran berpikir itu mencerminkan dinamika di dalam sistem kapitalisme global bagi World System Theory. Serta ketiganya diproduksi oleh kelompok intelektual di Barat dan disebarluaskan ke negeri-negeri yang jauh seperti Dunia Ketiga.

Peter L. Berger, dalam kritiknya yang berusaha melampaui dua kutub tersebut, mengingatkan akan dua jenis mitos yang hidup di dalam narasi pembangunan. Yaitu, mitos pertumbuhan dan mitos revolusi. 

Dalam bukunya yang berjudul Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change (1974), sosiolog yang dikenal sebagai salah satu teoritikus peletak dasar sosiologi pengetahuan mengatakan:

Mitos pertumbuhan harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas, dari mitologi modernitas. Suatu konsep kunci dalam hal ini adalah konsep "kemajuan". Semua peristiwa manusiawi bergerak dalam waktu ke arah meningkat dan maju (upward and forward). Jadi sejarah, khususnya sejarah dari suatu masyarakat, mempunyai tujuan di masa depan yang dibayangkan sebagai puncak atau serangkaian puncak-puncak.

Mitos kemajuan memiliki rekan seperjuangan yang sering sekali kita dengar. Rekan itu, kata Peter Berger, (saya kutipkan dalam kalimat panjang) adalah:

Penguasaan teknokratis dan produktivitas. Penjamin utama buat gerakan ke arah tujuan mistis itu adalah kemampuan manusia untuk terus meningkatkan penguasaannya terhadap, baik lingkungan alam maupun lingkungan masyarakat. Kemampuan ini, yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern, terutama dinyatakan dalan produktivitas ala Promotheus yang dihasilkan oleh industri modern.

Dalam konteks mitologis ini, konsep murni tentang pertumbuhan ekonomi membawa beban yang penuh dengan harapan yang menyelamatkan. Sejalan dengan berkembangnya kekuatan raksasa dari produksi teknologi modern, maka semakin meningkat pula harapan akan sebuah dunia baru untuk penyempurnaan manusia.

Mitos pertumbuhan dan memang keseluruhan mitologi modernitas diperoleh dari tradisi mesianisme yang khas Barat. Pada akhirnya ia merupakan suatu penduniawian eskatologis dalam Injil. 

Mempunyai peranan utama dalam semua perubahan besar dalam sejarah Barat modern, mitos pertumbuhan itu tetap berperan sebagai unsur yang amat penting dalam pandangan dunia semua masyarakat yang maju (dengan pengaruh yang sangat dahsyat di Amerika).

Tidakkah apa yang dilukiskan Berger hampir setengah abad yang lalu itu kini, di hari-hari menuju pemilihan umum, bergema lagi dalam pidato-pidato dengan kalimat yang berulang saja? Para politisi yang berkompetisi merebut puncak kekuasaan itu memang tidak sebatas menawarkan janji, mereka adalah pemelihara mitos yang ulung.

Sebagaimana kita bisa melihat bagaimana ambisi akan kemajuan (sebagai negara industri dan bukan penghasil bahan mentah belaka) masih dikerjakan dengan cara menggusur dan merampas ruang hidup jelata. 

Paling baru, kita melihat cara kerja yang sama dan atas nama investasi strategis, menuai perlawanan terbuka di masyarakat Kampung Tua, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Lantas, bagaimana mitos revolusi itu berakar? Kata sosiolog yang wafat pada 27 Juni 2017 ini: 

Mitos revolusi sama sekali tidak hanya merupakan lawan belaka dari mitos pertumbuhan. Sebagaimana mitos pertumbuhan, begitu pula mitos revolusi sama-sama berakar pada tradisi Yahudi Kristen kebudayaan Barat, dan sebagian besar versinya mengandung unsur-unsur dari tema-tema kemajuan, penguasaan teknokratis dan produktivitas...

Untuk sepenuhnya mengerti mitos revolusi, orang memang harus memahami segala ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh modernitas dan semua dorongan yang sebagai akibatnya bercorak menentang modernisasi. Dorongan-dorongan itu kerapkali berwujud mitos.

Dari peringatan Peter Berger yang sedikit saja terungkap di sini, kita tidak boleh benar-benar percaya dengan apa yang disuarakan tentang kemajuan dari arah negara atau koalisi yang menopang itu. 

Sama halnya kita tidak bisa sepenuhnya menaruh percaya pada mereka yang datang dengan janji-janji yang mewakili suara-suara dari ketidakpuasaan sebagaimana energi yang menghidupi mitos revolusi; mereka yang seolah-olah oposisi.

Perkara selanjutnya adalah jangan-jangan selama ini kita memang tidak memiliki definisi sendiri tentang kemajuan yang selaras dengan Pancasila. Yang memungkinkan kita mendekati dan mengelola pembangunan dengan menyadari betul biaya-biaya manusiawi sebagai prinsip yang tidak boleh diinjak-injak atas nama apapun. 

Bagaimana itu keselarasan itu dimungkinkan jika masih bersandar pada para importir lanjut dari mitos pertumbuhan, semisal IMF, Bank Dunia, dan WTO?

Jadi, siapa yang sesungguhnya sedang bersama-sama dengan kita?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun