Walaupun kita baru saja melewati tidur yang nyaman, nyenyak, dan hangat bersama keluarga kecil tercinta, apa yang terjadi di keesokan pagi tetaplah misteri. Walau bagi beberapa nasib yang lain, setiap pagi mungkin tidak lebih dari penjumlahan elegi--nyanyian sedih.
Saat sedang bersiap mengantar anak lelaki yang baru saja memasuki kelas satu Madrasah Ibtidaiyah, ibunya bersuara dari kamar. "Ini ada baju yang sobek, padahal mau dipakai kerja."
Waduh. Sebagai pihak yang berfungsi mengantar-jemput cucian ke laundry, komplain di pagi yang bergegas semacam ini bukan saja ungkap dari ketidakpuasan, kalau bukan kejengkelan.Â
Karena itu, mesti segera direspon. Sebab jika tidak, yang mula-mula berasal dari emosi ketidakpuasan, lantas bermutasi menjadi kejengkelan, berpotensi berubah arah targetnya.
Seolah-olah baju kerja yang sobek itu adalah kesalahan saya!
"Ya sudah, sebentar dikomplain." Saya kemudian berlalu, waktu sudah mendekat pukul 07.00 WITA.Â
Dilema Pelanggan. Sepulang dari sekolah, segera saja baju yang sobek itu difoto. Tentu akan dikirimkan ke akun WhatsApp milik pengelola laundry. Tapi masalahnya tidak selesai di sini.Â
Jamaah, saya mendadak kesulitan menuliskan kata-kata yang mewakili sebagai bentuk komplain itu.
Bagaimanakah menyampaikan komplain alias keluhan tersebut?Â
Di satu sisi, dalam relasi sebagai pelanggan yang sudah berbulan-bulan mengantarkan cucian ke sini tanpa pernah menyisakan utang, cucian yang sobek adalah bentuk layanan yang buruk.Â