Ada kesedihan yang tumbuh
diam-diam di jendela.
Setiap pagi, ia bangun seperti hari.
Menjemur matahari di bawah kasur,
dan merapikan bekas hujan
di dua lembar bantal.
Di antara sisa-sisa malam
yang mengheningkan hatinya.
Kemudian ia pergi ke kamar mandi
dan mencuci tubuhnya.
Di sepanjang mandi, tentu saja,
ia mengulang doa-doa ibunya.
"Nasibku, jangan menciptakan tuhan
yang tidak kukenali," pintanya.
Selepas mandi, ia pergi ke jendela.
Ia selalu betah duduk berjam-jam di sana.
Terutama karena udara basah
mengaburkan kaca,
semacam tempat yang baik
untuk bersembunyi
dari dustanya sendiri.
Lalu, ketika makan siang berkumandang
dari dalam perutnya yang kosong,
ia berlalu menuju ranjang.
Ke dalam ranjang, ia memeluk kesedihan
dan tertidur hingga petang.
Ia selalu terbangun setelah
tengah malam, manakala kesedihan
kabur diam-diam dari dekapan ranjang.
Menjadikannya kosong.
Ia bangun pagi, seperti hari.
Dan meratapi kesedihan yang
diam-diam tumbuh
sebagai dirinya yang asing.