Pernah di suatu masa, ketika ibadah Magrib baru saja selesai ditunaikan.
Tubuh saya yang gerah lantas memilih keluar dari kamar kos-kosan yang sempit. Mencari sedikit udara segar di bawah langit malam Kota Sampit yang menanti hujan. Tiba-tiba saja, gawai bermerek Samsung yang baru menemani sekitar setahun bergetar.
Sebaris nama tertulis. Nama yang nyaris tak pernah menghubungi saya, terlebih melalui percakapan telepon.Â
"Ada apa?" kata saya pelan. Patut sekali dicurigai, telepon mendadak begini tidak jauh-jauh dari perkara batin yang sedang menderita. Ternyata asumsi saya valid.Â
Di seberang sana, seorang pemuda berkata-kata dengan nada lirih. Menahan-nahan menangis.Â
Dia dan kekasihnya tidak lagi memiliki alasan untuk terus bersama. Peristiwa yang tidak mudah mengingat bagaimana mereka telah bertahan sejauh ini. Menjaga komitmen di sepanjang pasang surut Long-distance Relationship yang menguras emosi di antara Timur dan Barat.
Tidak ada yang lebih bijak dari berusaha mendengarkan. Mengikuti bagaimana kesedihan itu mengalir, mencari kata-kata, dan menemukan titik bangkitnya.
Sebab setiap patah hati yang sungguh-sungguh (baca: niat menikah yang batal) membutuhkan waktu yang panjang untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Membayangkannya saja sudah melelahkan.
Pendek kata, percakapan baru berakhir sesudah adzan Isya berkumandang.Â
Tidak banyak yang saya katakan kepada pemuda yang jarak usianya tak jauh-jauh amat ini. Saya tahu menjadi bertele-tele di hadapan patah hati yang masih berwarna senja adalah sikap yang tolol.Â