Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Apa yang Kita Bicarakan dari "Puss in Boots: The Last Wish"?

20 Januari 2023   09:51 Diperbarui: 23 Januari 2023   13:45 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor kucing dengan 9 nyawa adalah hidup yang lazim. Sebagaimana manusia biasa dengan 1 nyawa. Kecuali ia adalah Puss in Boots. 

Sepanjang hidupnya yang heroik, ia telah menghabiskan 8 nyawanya untuk kisah-kisah pertarungan yang legendaris. Setiap satu nyawa miliknya selayaknya satu bab cerita yang tidak bisa dibaca sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya. Atau bab yang mengantarai bab berikutnya. 

Karena itu, setiap 1 nyawa kucing sakti yang satu ini adalah sebuah buku. Dia harus dibaca dalam epos. 

Lantas, sebuah diagnosa diungkapkan, kematian akhirnya tiba di depan mata. Peringatan yang mencemaskan namun seringkali diabaikan, termasuk oleh manusia. Jika hidup ini adalah perjalanan menyibak rahasia, bangkit dan patah, tumbuh dan berkembang, tidakkah satu-satunya yang pasti hanyalah kematian--dan apakah Puss in Boots bahagia, apakah kita bahagia?

Seorang kucing legendaris yang tidak siap menghadapi kematian jauh lebih menakutkan dari musuh manapun. Sebab hidupnya yang tinggal satu nyawa lagi--atau karena cinta sejatinya pada sosok legenda, kata Kitty Softpaws--sibuk berjibaku dengan pelarian dan persembunyian. Jelas kehilangan nyali.

Tapi apakah kehilangan nyali adalah satu-satunya pusat pergulatan? 

Ternyata nyali adalah perkara di permukaan. Yang lebih parah atau tersembunyi dari ketiadaan nyali adalah kemampuan untuk mengerti dan menerima datangnya yang akhir, tentang yang tidak abadi. Kemampuan menerima "absurditas". 

Dengan kata lain, obsesi kepada hidup tanpa pernah mati telah membuat kucing sakti ini terasing dari dirinya sendiri.

Lantas, bagaimana dengan hidup yang tidak berjuang menjadi legenda? Hidup milik jiwa-jiwa yang tidak ingin dikenang sebagai pahlawan sepanjang hayat? Pengharapan terakhir apa yang ingin mereka panjatkan?

Kitty Softpaws, partner Puss in Boots yang batal dinikahinya, hanya menginginkan seseorang yang bisa dipercayainya. Goldilocks, gadis yatim piatu yang diasuh keluarga beruang, yang masih ingin mencari keluarga yang seperti dirinya, manusia. 

Kemudian Big Jack Horner yang tergila-gila menjadi penyihir paling sakti sejagad raya. Dan, seekor anjing lusuh yang sepanjang hidupnya merindukan persahabatan tulus, Perrito.

Ambisi memenangkan harapan terakhir ini mempertemukan semua jiwa-jiwa di atas itu dalam satu perebutan yang saling memangsa. Sebelum akhirnya semuanya sadar bahwa salah satu hal paling susah disembuhkan dari jiwa-jiwa yang hidup adalah kemampuan untuk merasa cukup.

Cukup akan kasih sayang berlimpah sepasang beruang yang sudah mengasuh, seperti Goldilocks yang naif. Merasa cukup pada hidup yang percaya bahwa ketulusan sebenarnya tidak meminta imbalan, seperti riwayat Katty Softpaws. Merasa cukup bahwa legenda dikenang karena warisan perbuatan baik yang menjaga kehidupan, bukan karena dirinya tidak bakalan mati, seperti ambisi Puss in Boots.

Satu-satunya yang hidup dengan kesadaran cukup dalam episode ini adalah sosok Perrito, anjing yang cenderung naif. Tapi karena ini, hidupnya cenderung mengalir dengan lempeng, tanpa ambisi. Selain keinginan memiliki persahabatan yang tulus.

Puss in Boots, dengan suara Antonio Banderas yang serak berwibawa, adalah panggung kecil dari perjuangan meraih hidup yang bermakna. Tanpa keterkaitan maknawi, atau sejenis "anomie", jiwa-jiwa akan kehilangan keluhurannya. Lebih dari sekadar perkara kehilangan pegangan atau keyakinan terhadap hidup itu sendiri.

Pertanyaannya adalah bagaimana potensi kehilangan keluhuran diri itu bisa dicegah dalam riwayat Puss in Boots?

Animasi yang disutradarai Joel Crawford mengajak audiens kepada satu momen pertaruhan. Momen dimana figur-figur kunci di dalam kisah ini ditantang berkelahi melawan segenap motivasi egoistik yang membuatnya silau pada impian-impian tentang kebahagiaan yang membuatnya tercerabut dari yang sudah dimilikinya sejauh ini. 

Sejenis impian yang membuatnya tidak pernah akan berhenti dan menyakiti lingkaran kecil yang seumur hidup telah berfungsi sebagai "supporting system" yang baik. Jadi, momem pertaruhan tersebut sekaligus momen kembali kepada panggilan terdalam dari keheningan nurani. Semacam melakukan "jihad akbar".

Selalu saja ada idealisme yang memanggil kita terlibat pada dunia yang lebih besar dari diri kita sendiri. Semisal "ideologi" yang melayani orang-orang kecil dan terpinggirkan. 

Namun di dalam "panggilan kepada yang besar itu", Puss in Boots mengingatkan bahwa selalu ada semesta kecil, yang mengikuti dan membentuk sejarah kita,  yang hangat, real dan sehari-hari yang tidak boleh dikurbankan karenanya. Kita selalu diminta menemukan kesimbangan di antara ini.

Itulah mengapa animasi berdurasi 102 menit ini bisa dinikmati pikiran dewasa yang tidak tertarik dengan drama manusia lewat lakon non-animasi.  

Bahwa nama-nama beken seperti Salma Hayek di balik sosok Katty Softpaws atau Florence Pugh di balik sosok Goldilocks, gadis pemimpin "Three Bears Crime Family", itu bukanlah daya tarik utama. Karena saya baru mengetahui adanya sosok-sosok ini belakangan, termasuk keterlibatan Guillermo del Toro di level produser eksekutif, ketika menulis ini.

Selebihnya adalah animasi yang menggugat jiwa-jiwa yang tidak pernah merasa cukup, atau gagal menghargai hal-hal baik yang menemaninya selama hidup, berhasil memicu bocah 6 tahun larut dalam cerita.

Beberapa scene membuatnya terpingkal-pingkal. Beberapa lagi membuatnya terdiam dicekam ketegangan, lantas bernapas lega sesudah semua itu berlalu. Film ini sukses menyedot atensinya yang masih dipelihara oleh antusiasme yang sederhana.

Sekurangnya, di suatu masa, ketika dia berada di dalam ketegangan untuk memilih, dia teringat Puss in Boots pernah bercerita konsep yang sama. 

Hidup selalu lebih kompleks dari yang disodorkan oleh film animasi, tapi tak jarang kita membutuhkan contoh animatif untuk mengenali mengapa hal-hal yang kompleks sebagai pengalaman yang real.

Demikianlah percakapan singkat tentang Puss in Boots: The Last Wish yang masih tayang di layar Cinema XXI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun