Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Orang-orang Menuntut Shin Tae-yong Mundur Seolah-olah Dia adalah Allegri

16 Januari 2023   15:38 Diperbarui: 17 Januari 2023   16:57 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Korea Selatan asuhan Shin Tae-yong kala mengalahkan Jerman di Piala Dunia Rusia, 2018 | (AFP PHOTO/JEWEL SAMAD via Kompas.com)

Tapi, tidak ada yang lebih gila dari pikiran-pikiran kekuasaan. 

Ia membuat sepak bola sebagai jalan pintas dari ambisi-ambisi yang menuntut prestasi tanpa perencanaan jangka panjang. Ia membuat sepak bola tidak lebih baik dari partai politik, yang ketika musimnya tiba, bisa mencomot orang-orang dari mana saja, demi bisa menang atau memenuhi syarat boleh bermain. 

Lantas, bagaimana kita tidak curiga, pikiran-pikiran kekuasaan membuat organisasi olahraga seolah-olah kumpulan orang-orang yang transit untuk target politik yang lebih tinggi; sejenis organisasi kutu loncat belaka.

Celakanya, karena ia mengurusi salah satu sumber kegembiraan yang massal, ia menjadi bercampurbaur dengan segala macam tetek bengek nasionalisme, patriotisme, hingga isme-isme yang mengada-ada belaka. 

Ironisnya, kita, sebagai bagian dari "yang massal" itu, dibikin kehilangan kemampuan dalam membedakan. 

Bahwa di dalam nasionalisme yang meraung-raung itu, kekuasaan bisa menjadi monster yang mengerikan. Dalam patriotisme yang seharusnya tumbuh dalam perkara orang-orang biasa yang berjuang demi kehidupan yang lebih baik, kekuasaan membuatnya menjadi berwajah tunggal: hanya mereka yang mati-matian di medan perang yang patriotik. 

Bahwa di dalam bangsa yang bertahun-tahun menyaksikan sepak bola yang terseok-seok di Asia Tenggara, ada kumpulan elite yang tidak berubah, bebal dan merasa diri berdiri di atas segalanya.

Dan, ketika musim suksesi tiba, lihatlah bagaimana pikiran-pikiran kekuasaan itu bekerja. Dia membuat pikiran jelata serasa tidak memiliki alternatif; persis para pendukung garis keras globalisasi neoliberal: There Is No Alternative! 

Orang kuat yang habis obatnya masanya diganti orang kuat yang sedang tiba masanya. Lalu perhatikan para pesohor yang kini berbisnis sepak bola, sesudah menguasai infotainmeny atau merambah Youtube. Mereka mengitari orang tersebut seperti pasukan khusus di samping jendralnya. 

Wahai! Seolah-olah ini semua adalah pertarungan antara sang mesiah vs durjana terkutuk. 

Tuan-tuan yang kaya dan kuat ini juga berusaha memberikan kita harapan. Sebagai figur yang baru, muda, dan tentu saja memiliki akses pada pusat kuasa. 

Akan tetapi, apakah pemulihan sepak bola seringkas itu? Andaipun istana berada di balik rencana pengambilalihan pucuk pimpinan federasi?

Tidakkah pertanyaan pertama yang mesti diajukan ketika hendak memimpin adalah apakah kita sungguh-sungguh mampu sebagai yang memberi solusi terhadap krisis?

Tidak. Kita tidak bisa percaya dengan kesan-kesan seperti ini. 

Bukan sedikit orang kuat dan kaya raya yang bolak-balik berebut pucuk pimpinan federasi, dan kapan terakhir kali Indonesia mendapat emas di sepak bola SEA Games? Lima jari kita bahkan terlalu banyak untuk menghitung ini. 

Para pemuja sepak bola nasional lebih butuh visi yang terang dan rencana kerja yang masuk akal sebelum orang-orang kuat bertukar posisi dan bertransaksi kepentingan. Sebelum mereka muncul dengan segala macam wacana berbuih-buih yang pada dasarnya hanyalah permainan kekuasaan terhadap nasib: habis manis sepah dibuang.

Karena itu, para pemuja yang jelata, yang publik, janganlah terjebak polarisasi yang berakar pada perebutan politik yang destruktif. Atau, sekurang-kurangnya termakan dengan konstruksi wacana ke arah sana.

Sinisme terhadap orang-orang berkuasa yang bergiliran berebut kuasa federasi sepak bola tetap harus dipelihara. Negeri ini punya riwayat panjang dari kegagalan dan kehancuran yang diakibatkan orang-orang seperti ini. Jadi, biasa sajalah. 

Oleh karenanya, dengan warisan sistem yang sedemikian awet memelihara nelangsa sepak bola, ketika para petinggi itu menyuarakan Shin Tae-yong mundur sesudah serangkaian kegagalan, apa yang berkelakar di benak kita?

Mereka menuntutnya seolah-olah Mister Allegri di Juventus. Allegri yang melatih Di Maria, Locatelli, Chiesa hingga bakat-bakat muda seperti Miretti, Soule dan Fagiolo. Allegri yang tetap bertahan dengan sepak bola membosankan di era yang atraktif dan menghibur.

Allegri yang akhirnya bisa menemukan kestabilan Juventus, dengan 8 kemenangan tanpa kebobolan dan membawa Si Nyonya Tua ke papan dua. Sebelum disikat Napoli dengan 5 gol yang menegaskan bahwa Juventus sejatinya menyedihkan. 

Tuntutan seperti itu seperti melempar batu sembunyi tangan. Sementara, saya kira, suara hati kebanyakan orang berkata betapa malangnya menjadi seorang ahli taktik berlevel world class di Indonesia. 

Orang Korea itu memang dibayar dan bekerja untuk janji-janji memberikan prestasi, tapi timnas asuhannya tidak lebih baik dari yang pernah dilatih seorang Spanyol berlevel world class lainnya.

Di tengah mimpi-mimpi yang semakin jauh panggang dari api, dia memimpin perjuangan timnas di tengah penegakkan hukum yang tak jua jelas terhadap tragedi Kanjuruhan, Malang. Tidakkah dia tidak sebatas menanggung kegagalan, namun juga kemalangan? 

Dia seperti bekerja di jalan buntu, sebagaimana era-era sebelumnya. Dia seperti Sisifus, meneruskan kutuk kesia-siaan yang entah kapan berakhirnya. 

Riwayatnya begitu kontras dengan heroisme dalam banyak drama korea. Semisal perjuangan seorang kapten tentara pada satuan elite yang berkali-kali lolos dari marabahaya di seri "Descendants of the Sun" (2016).

Kapten itu, Yoo Si-jin namanya. Dia dikirim ke daerah bencana dan bahu membahu bersama warga setempat memulihkan diri dari kondisi bencana. Dia juga dikirim kedalam operasi-operasi khusus yang melibatkan intrik tingkat tinggi. Dan, dia jatuh cinta setengah mati kepada seorang dokter yang cantik, Dr. Kang Mo-yeon. 

Namun cintanya pada nasionalisme jauh lebih besar dari kehadiran seorang dokter cantik dan tabah. Ia mewakili simbol dari pengharapan di masa krisis, bukan saja patriotisme yang keras kepala. 

Karena itu, arti penting ceritanya bukanlah kehadiran lelaki yang memastikan bahwa hidup akan baik-baik saja dan dipastikan berbahagia.

Tapi karena di tengah hidup yang tak selalu baik-baik saja itu, kita hanya bisa percaya pada seseorang yang patut, yang teruji bisa menjaga harapan. 

Dus, bukankah dengan disuruh melihat harap yang redup pada Shin Tae-yong, kita sedang melarikan diri dari kekecewaan-kekecewaan yang tidak pernah bisa dipertanggungjawabkan?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun