Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Percakapan dengan Roem Topatimasang di Kampus Perdikan INSIST Yogyakarta

24 Desember 2022   11:28 Diperbarui: 26 Mei 2023   16:51 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendopo Mansour Fakih yang juga adalah ruang belajar di Kampus Perdikan | dok: S Aji

Ada keinginan yang cukup lama terpendam agar bisa berkunjung ke kantor Insist di Yogyakarta. 

Insist adalah akronim dari Indonesian Society for Social Transformation, didirikan di Yogyakarta tahun 1997. Bertepatan dengan peringatan Hak Asasi Manusia Internasional, 10 Desember. 

Dua sosok yang diketahui sebagai pendiri organisasi ini adalah Mansour Fakih dan Roem Topatimassang.

Awal didirikan, Insist berarti Institute for Social Transformation. Namun sejak Mansour Fakih meninggal di tahun 2004, Insi dalam Insist berubah menjadi Indonesian Society. Insist kini adalah konfederasi yang menjadi simpul beberapa komunitas organisasi. Deklarasi perubahan ini ditandatangani di Jakarta, tanggal 20 Mei 2004. 

Mereka yang menandatangani adalah wakil pendiri pertama (Roem Topatimasang) dan wakil-wakil komunitas organisasi anggota INSIST yang berkedudukan di Jakarta (Wilarsa Budiharga), Yogyakarta dan Solo (Toto Rahardjo), Bali & Nusa Tenggara (Made Suarnatha), dan Maluku (Pieter Elmas). Keterangan ini bisa dibaca di Insist Press. 

Keinginan berkunjung ke Insist karena sebuah hutang rasa, dalam istilah Sudjiwo Tedjo. 

Perkaranya adalah semacam berkah dalam masyarakat post-otoritarian. Maksud saya, di zaman itu, bagi generasi pelajar yang baru memasuki dunia perguruan tinggi, adalah cukup tersedianya bacaan-bacaan kritis. Bacaan-bacaan ini membantu menguak apa yang sedang terjadi dengan tipe negara otoriter birokratik yang sukses bertahan hingga tiga dekade. 

Bacaan-bacaan kritis memfasilitasi pemahaman tentang kondisi zaman seperti apa yang melahirkan negara tersebut, ideologi pembangunan global jenis apa yang dipeliharanya, hingga konsekuensi-konsekuensi peminggaran hak ekonomi-sosial-budaya (ekosob) apa yang ditimbulkannya. 

Termasuk juga bacaan-bacaan yang mengajukan alternatif terhadap tatanan yang sedang merestorasi dirinya sesudah krisis 98, khususnya bacaan yang membicarakan ideologi dan praktik pendidikan kritis beserta pengorganisasian masyarakat. Dalam atmosfir transisi dan produksi narasi tanding ini, jelas saja Insist memang bukan satu-satunya. Tapi keberadaan Insist tidak bisa dinafikan sebagai garda depan dari arus balik kritisisme yang konsisten bertahan hingga hari ini.

Memang tidak semua buku terbitan Insist sudah saya beli dan membacanya hingga tuntas. 

Tapi kalau bukan karena Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2001) yang ditulis Mansour Fakih, saya akan kekurangan cara pandang melihat dunia dan marabahaya yang sedang berjalan. Sama halnya andai tidak bertemu Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (2001) yang disunting Roem Topatimassang, Toto Rahardjo dan Mansour Fakih, saya mungkin akan dimakan mentah-mentah sistem sekolah sebagai sebaik-baiknya orang berpendidikan.  

Di perjumpaan inilah, hutang rasa itu mengakar. Sampai nanti, sampai mati.

***

Pendopo Mansour Fakih yang juga adalah ruang belajar di Kampus Perdikan | dok: S Aji
Pendopo Mansour Fakih yang juga adalah ruang belajar di Kampus Perdikan | dok: S Aji

Jumat kemarin, langit Yogyakarta dari arah sebelah Barat sedikit mendung. 

Dengan seorang kawan dari Bentara Papua yang juga merupakan jaringan kerja Insist, kami menuju Kampus Perdikan-INSIST, yang beralamat di Kaliurang Km. 18, Sempu-Sambirejo, Pakem. Bentara Papua adalah Non-Goverment Organization yang berdiri sejak tahun 2012 dan kini sedang bekerja di Pegunungan Arfak, Sorong Selatan dan Raja Ampat. Bentara Papua-lah yang membantu sehingga kunjungan ini bisa terwujudkan. 

Kami tiba di kampus Perdikan-Insist sekitar pukul 13.30 WIB. Kompleksnya tidak begitu besar, namun berada di lingkungan perkampungan yang cukup hijau lagi tenang. Di halamannya, ada gedung kecil yang menjadi toko buku, sebuah rumah bertingkat yang tersambung dengan pendopo yang diberi nama Pendopo Mansour Fakih. Dan sebuah toilet kecil di pojokan.

Terpisah dari gedung utama ini, agak ke belakang, melintasi pekarangan yang mulai lebat dengan rerumputan, ada sebuah rumah panggung dari bata. Di sinilah, Pak Roem Topatimassang tinggal sehari-hari. 

Sesudah menunggu sebentar, saya melihat pak Roem berjalan pelan ke arah pendopo. Beliau berkaus merah dengan sarung. Juga memakai jaket. Cuaca memang agak berangin. Lalu, sesudah saling menyapa, kami pun memulai obrolan. 

Obrolan dengan tema utama bagaimanakah organisasi non-pemerintah akan bekerja kedepannya. Misalnya, manakala dunia mulai mendefinisikan dirinya dalam resesi, seperti apa dampak yang bakalan terjadi di kampung-kampung yang jauh, serupa di Pegunungan Arfak, Papua Barat. Bagaimana ini dihadapi?

Saya tidak akan menceritakan secara persis yang direnungkan Pak Roem atau yang sedang dibicarakan oleh kawan-kawan di lingkaran Insist. 

Saya hanya sekadar bisa bilang bahwa diskusi tersebut berlangsung hingga pukul 18.00 WIB. Saya melihat langsung seorang Roem Topatimasang yang berulang kali mengingatkan betapa sentralnya menjadi pegiat yang memahami betul kontek tempatan (mikro-lokal). 

Beliau banyak berbagi permenungan dan pengalaman pengorganisasian dari masyarakat yang selama ini beliau turut terlibat di dalamnya, dari Timur hingga Barat Indonesia. Beliau membicarakan persoalan di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Bali hingga ke Jambi, dari pangan, iklim, produksi komoditas dan pasar lokal. 

Tak banyak menyoroti tatanan-tatanan besar yang sedang bergejolak walau tetap mengingatkan itu adalah konteks yang harus selalu di-update. Termasuk juga mengingatkan kepentingan yang tidak selalu disadari ketika kita begitu riuh mengampanyekan hak-hak masyarakat adat.

Sepanjang percakapan hampir 4 jam itu, saya kebanyakan diam dan merekam saja. Sesekali mengangguk saja. 

Dinding yang memajang foto dari caover buku yang sudah diterbitkan Insist Press | dok: S Aji
Dinding yang memajang foto dari caover buku yang sudah diterbitkan Insist Press | dok: S Aji

Pria kelahiran 20 Mei 1958 ini masih saja tangguh berdiskusi dengan anak-anak muda. Di antaranya adalah meladeni beberapa pernyataan atau pertanyaan yang semestinya tinggal dipikirkan saja sendiri. Sosok sepuh yang sudah melahirkan sekurangnya 60 judul buku, baik sebagai penulis, penerjemah, maupun penyunting ini cukup sabar menyimak yang dinyatakan.

Pengalamannya yang panjang sebagai mantan aktivis mahasiswa dan relawan Ornop yang bekerja dari Barat (sejak tahun 1980an) hingga ke Timur membuat beliau selalu memiliki pemahaman konteks yang jeli. 

Misalnya ketika melihat mengapa wacana-wacana besar seperti perubahan iklim sering gagal beroperasi sebagai kesadaran warga kampung. Juga bagaimana bahasa sains yang kompleks-canggih-rumit itu selalu mesti dicarikan pembahasaannya yang menyatu dengan pengetahuan sehari-hari orang kampung di Nusa Tenggara Timur.

"Ternyata kita (masih) memiliki masalah dalam cara kita memahami masalah," tegas beliau.

Di tengah diskusi, hujan deras beserta angin mulai turun. Kami berpindah ke ruang tengah di pendopo Mansour Fakih. Pak Roem menyalakan lampu sehingga saya bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas dibanding sebelumnya. 

Wajahnya memelihara berkumis, memutih seperti rambutnya yang mulai menipis. Tapi secara kasat mata, wajahnya masih terlihat segar walau kabarnya pak Roem sudah dianjurkan lebih banyak istirahat. 

Wajah beliau mengingatkan pada sosok sentral dalam seri televisi Ohara yang ngetop di tahun 1987-1988. Ohara adalah seorang letnan polisi di Los Angeles yang diperankan oleh Noriyuki "Pat" Morita.

Kami yang akhirnya memohon pamit, karena adzan Magrib mulai berkumandang. Jika tidak, mungkin saja diskusi panjang masih akan berlanjut. Saya kira, inilah kesempatan untuk berbicara sesudah hanya diam dan berusaha menyerap semua yang dikatakan. 

"Pak, saya mau minta ijin."

"Lho, ijin apa?"

"Saya minta ijin bisa berfoto sama bapak." Sambil memasang wajah cengengesan. Selayaknya seorang fans kepada idolanya. 

Pak Roem juga ketawa, disangka hendak meminta apa. Saya lalu menceritakan beberapa latar belakang yang beririsan dengan Insist dan beliau menatap sebentar, hanya mengangguk. 

Saya mengucapkan terima kasih berkali-kali. "Akhirnya bisa ke sini dan bertemu Pak Roem." 

***

Berhasil memenuhi keinginan berkunjung ke Insist dan bertemu Roem Topatimasang adalah peristiwa menjelang akhir tahun yang sempurna. Dan juga ini terjadi sesudah menyelesaikan tiga bulan perjalanan ke Pegunungan Arfak, Sorong Selatan dan Raja Ampat yang difasilitasi oleh kawan-kawan Bentara Papua.

Sekarang waktunya merampungkan yang masih berserak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun