Menjelang jam 5 pagi, saya memutuskan berjalan pelan menuju pintu keluar sebelah Selatan. Sebentar lagi akan ramai, para pemburu hari sebentar lagi bakal hilir mudik memenuhi tempat ini.Â
Dalam langkah pelan-pelang, saya terbayang sebuah puisi yang pernah tayang di Kompasiana. Usianya kini sudah berumur 4 tahun. Â Â
Yogya Sampai Kemarin - S AjiÂ
aku mengalami Yogya yang tumbuh dari buku,
percakapan-percakapan dan tanda tanya di setiap ceritanya
ada masa lalu tanpa pernah utuh,
masa depan berkejaran,
dari mereka yang tercerabut atau bertahan,
di antara sawah hijau, orang tua bersepeda,
pekerja muda memenuhi udara
dengan deru debu cita-cita.
di antara wangi gudeg di angkringan, musik pinggir jalan
lenguh becak serta orang-orang yang merasa
selalu jatuh cinta ketika singgah.
hingga kamu: di antara rindu bergairah,
pikiran-pikiran resah. dan kata-kata
yang menuliskan
sepinya sendiri-sendiri.
sampai kemarin, sampai nanti.
barangkali
(2018)
Setiap tempat adalah semesta yang bisa menjadi apa saja di kepala siapa saja, Jogja bukan satu-satunya. Namun bagaimana Jogja menjadi dalam sebuah puisi, itu tetap saja perkara yang mewah.
Selain kampung halaman almarhum Bapak, ada rindu memeluk ibu yang makin sepuh, itulah alasan yang membuat saya selalu ingin kembali.