Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suatu Hari di antara Taman Menteng dan Gambir

20 Desember 2022   20:43 Diperbarui: 20 Desember 2022   22:07 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Menteng | Dok: S Aji

Taman Sempit di salah satu sudut Menteng | S Aji
Taman Sempit di salah satu sudut Menteng | S Aji

***

GAMBIR. Kita tidak boleh menghadapi 10 jam menunggu dengan pikiran yang sudah duluan tiba di Yogyakarta. Karena kita tidak akan memiliki cerita apa-apa. Maka, perhatikan saja sekitar.

Gambir masihlah etalese dari kesibukan. Orang-orang masuk dan keluar, selebihnya menunggu, makan, ngobrol atau menenangkan diri di depan layar gawai. Di halaman depan, di pintu masuk Selatan, deretan pria duduk di sebuah bangku panjang. Asap rokok mengepul di sela-sela percakapan mereka.

Saya mengajak kawan yang tidak banyak ke Jakarta atau lebih persisnya memberi sedikit bukti bahwa saya mengenali sudut-sudut Gambir sedikit lebih baik. Maksud saya, tempat ini tidak banyak berubah, seperti warnanya yang hijau. 

Kami terus duduk di sebuah kafe, di depan gerai kecil Starbucks dan McD. Kami duduk di lantai dua, di dalam ruangan No-smoking Area. Pengguna komuter mesti segera tahu tempat apa yang dimaksud. 

Oh ya, di suatu masa, sebelum pandemi, mungkin 2 atau 3 ke belakang, saya secara tak sengaja bertemu Prof. Pebrianov di sini. 

Kami ngobrol selayaknya dua kenalan yang baru bertatap muka sesudah interaksi komentar dan percakapan tidak pernah jelas arahnya di sebuah grup yang menampung gerombolan Kompasianer. Tapi yang lebih penting, beliau membayar semua yang saya pesan. 

Kali ini, kami juga memesan makan. Sesekali bercakap-cakap. Tapi saya selalu suka mengamati macam-macam manusia yang keluar masuk. 

Yang seperti pekerja kantoran, yang seperti turis, yang seperti model majalah sampul, hingga yang seperti saya sendiri: membawa tas besar, berkaos dengan celana banyak kantungnya, serta membiarkan kumis dan janggut menyempurnakan kesan seseorang yang datang dari pinggiran hutan.

Saya berpikir membuat video time-lapse. Saya ingin mengabadikan waktu yang bergeser dan orang-orang yang terus saja mengalir. Tapi kemudian dihapus. Saya mulai mengantuk dan tidak menemukan alasan yang jitu untuk menunggu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun