Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tentang (Rahasia) Argentina Sejauh Ini

1 Desember 2022   14:33 Diperbarui: 4 Desember 2022   04:19 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum kemenangan Messi dan Parades sesudah mengalahkan Polandia dan lolos ke babak 16 besar (AFP/ANTONIN THUILLIER via Kompas.com)

"My message to the supporters is to have a faith...We won't leave them stranded" - Lionel Messi

Pada partai pamungkas Grup C, Scaloni membuat sedikit perubahan yang memungkinkan Argentina berhasil menang. 

Kemenangan yang membuat mereka lolos dengan cara yang meyakinkan sesudah "Kutukan Saudi". Kutukan yang potensial terjadi dikarenakan permainan dominoton (dominan tapi monoton), terburu-buru, bahkan tidak memiliki exit strategy terhadap pressing ketat Arab Saudi. 

"Kutukan Saudi" merusak rekor 36 tak pernah kalah secara beruntun yang sejatinya dikarenakan game plan Argentina sendiri. Kutukan yang mengenaskan tapi perlu. Sebagaimana sudah dibahas di Argentina Mati Gaya, Salahnya di Mana?

Kemenangan dua gol tanpa balas dari Polandia membuat Argentina sebagai juara grup. Posisi ini penting karena terhindar bertemu Perancis sejak dini. Walau tanpa Pogba dan senjata peredam Messi bernama N'golo Kante, mereka masih punya Mbappe yang laju laksana torpedo. 

Messi, dkk akhirnya hanya akan berjumpa Australia. "Wakil Anglosaxon" yang mencari peruntungan di Asia ini memang bukan lawan enteng. Tapi jelas tidak seberat melawan Perancis. 

Lantas, jika Argentina melewati "Negeri Kanguru" (dan memang akan begitu), maka berjumpa Belanda adalah perempatfinal yang ideal. Tentu sejauh Belanda tidak dilucuti Amerika Serikat, minion di sepak bola yang barusan bikin nenek moyang Inggris belumlah sesuatu di ajang ini.  

Sesudah melihat Argentina di sepanjang penyisihan grup, catatan ini sekadar mengungkap sedikit transformasi yang dilakukan Scaloni bersama asisten-asistennya. Semacam pergeseran yang membuat Tim Tango tampil lebih baik day-to-day. 

Transformasi Kecil Tim Tango

Pertama, berusaha unggul dalam penguasaan bola dan menjadi lebih sabar. Di saat melawan Saudi, Messi, dkk unggul penguasaan bola hingga 70% berbanding 30%. Angka ini mirip dengan yang dicatat saat bertemu Polandia, 73% berbanding 26%. Tapi saat bersua Meksiko yang dilatih seorang Argentina, keunggulan ini tidak terjadi. Mereka relatif imbang.

Karena itu, angka penguasaan bola adalah satu hal saja. Kesabaran adalah fundamental yang lain. 

Ketika dikejutkan Arab Saudi yang liat, keras (ada 6 kartu kuning untuk Arab Saudi), dan disiplin, Messi dan teman-temannya tetap saja menyerang dari kiri, buntu di tengah, dan sering terjebak offside. 

Di depan game plan Meksiko, terlebih Polandia yang seolah-olah bergaya Italia pra-Mancini itu, pertunjukan monoton bin grasa grusu tak lagi mengental.

Kedua, penemuan poros yang ideal, terutama di lapangan tengah. Ketika melawan Saudi, Scaloni memasang Paredes dan De Paul di tengah. Sedang di belakang, ia memainkan duet Otamendi dan Romero. 

Paredes masih kerap membuat backpass (seperti yang diminta Allegri di Juventus) ketimbang mencari kemungkinan menerobos lapangan tengah Saudi yang rapat.

Poros itu berubah ketika menghadapi Meksiko yang menumpuk banyak pemain di belakang juga. Dalam catatan Whoscored, Meksiko bermain dengan formasi 5-3-2. Argentina tetap dengan 4-4-2 dengan poros gelandang adalah Guido Rodriguez dan Rodrigo De Paul. 

Poros ini berubah lagi kala meladeni Polandia. Dengan skema 4-3-3, Scaloni memasang tridente: Alexis Mac Allister, Enzo Fernandez dan De Paul di tengah. 

Dampak berbeda seperti apa yang bekerja?

Di hadangan Polandia yang bahkan dengan Arab Saudi memilih bermain bertahan, Argentina bergaya lebih cair. Walau mereka masih saja terus-terusan memaksakan crossing, distribusi bola dari belakang ke depan lebih mengalir. Argentina bahkan terlihat stay cool and keep calm sesudah penalti Messi yang gagal. 

Ketiga, dari tiga laga penyisihan dan hasil yang diperoleh, poros lapangan tengah di partai melawan Polandia adalah yang paling meyakinkan. Debutan seperti Allister dan Fernandez bukan saja langsung nyetel dengan pakem, namun turut menyumbang gol. 

Kombinasi keduanya dengan De Paul adalah opsi paling ideal saat ini. Mac Allister yang kelahiran 1998 memiliki pergerakan yang bagus di depan kotak penalti. Sedangkan Fernandez yang baru berusia 21 tahun itu adalah tipikal pengatur bola sekaligus pengumpan yang jeli. 

Cara Fernandez memberi asis kepada Alvarez adalah buktinya. Atau bagaimana dia mengeksekusi asis Messi saat melawan Meksiko. Karena itu, saat melawan Australia nanti, mereka sebaiknya memang bermain sejak awal.

Keempat, memainkan Julian Alvarez sejak awal. Striker muda yang bermain dengan Man City ini terbukti memiliki mobilitas tinggi. Alvarez lebih rajin mencari ruang kosong di dalam kotak penalti dibanding Lautaro Martinez. 

Kemampuannya melepas tembakan dari rapatnya marking lawan adalah kualitas yang melengkapi, seperti yang dilakukannya saat melawan Polandia.

Pendek cerita, Allister, Fernandez, dan Alvarez adalah bentuk kepercayaan Scaloni kepada bakat-bakat muda.

***

Keempat perubahan inilah yang berhasil menciptakan transformasi kecil di Tim Tango. Transformasi yang menandakan jika Scaloni sosok yang memiliki adaptasi taktikal yang jeli terhadap dinamika turnamen. Lolosnya Argentina sebagai pemuncak grup adalah konsekuensi yang niscaya.

Karena itu, jika kita menengok ke belakang, kekalahan di partai pembuka dari Saudi justru adalah rasa sakit yang perlu. 

Kekalahan itu adalah sejenis katarsis: kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat satu lakuan dramatis.  Katarsis yang tengah bekerja kolektif.

Sesudah kekalahan itu, Lionel Messi berpesan kepada para pendukung, "Tetaplah memiliki keyakinan. Kami tidak akan membuat mereka terlantar."

Jadi mari kita nikmati saja transformasi yang sedang terjadi paska-kutukan Saudi. Sekurang-kurangnya dengan melihat jika Scaloni dan tim pelatihnya bukanlah gagasan sepakbola yang keras kepala. Atau bergantung sepenuhnya pada judul pemain berpengalaman. 

Berani memainkan debutan seperti Allister, Fernandez dan Alvares serta mencadangkan Papu Gomez atau Lautaro Martinez. Termasuk berani memainkan Lisandro Martinez saat melawan Meksiko, adalah pertanda yang bagus.

Dalam kata lain, Scaloni yang memulai karier sebagai asisten Jorge Sampaoli, adalah pelatih muda dengan ide sepak bola menyerang yang patut diperhitungkan. Melakoni 36 laga tanpa kekalahan adalah bukti permulaan yang cukup, bukan?

Selain itu, Scaloni juga tahu jika Emiliano Martinez, Otamendi, Messi, Di Maria dan De Paul adalah lima nama yang bisa menuntun barisan debutan itu bermain lebih meledak lagi. Bersama lima sosok ini, Argentina pernah berhasil menjuarai Copa America setahun lalu.

Kita tunggu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun