Subuh barusan, Tim Tango akhirnya bermain dengan ide yang sudah disarankan dalam artikel berjudul Argentina Mati Gaya, Salahnya Di Mana?
Scaloni tetap harus membuat Messi, dkk bermain menyerang dan dominan. Tapi dengan distribusi bola yang lebih baik, tidak monoton (: terlalu sering melalui sayap), tidak memainkan Cristian Romero, Leandro Paredes dan Papu Gomez sejak awal.Â
Nama yang pertama, tidak cukup fleksibel mem-build up serangan dalam belakang. Nama kedua, terlalu sering men-delay bola sehingga kehilangan momentum. Nama yang terakhir, manuvernya sisi kiri mudah dibaca pertahanan Arab Saudi.
Scaloni memberanikan diri menggunakan nama-nama yang kurang dikenal. Di lapangan tengah, ia memasang Guido Rodirguez, gelandang bertahan yang merumput di Real Betis. Kemudian memainkan Alexis Mac Allister, yang baru berusia 23 tahun.Â
Gelandang muda ini bermain di Brighton, klub di liga Inggris yang dipuji karena sepakbola atraktif. Dua gelandang yang tidak bermain di klub besar itu menemani De Paul yang disuruh bekerja lebih keras sebagai "box to-box midfielder".Â
Terakhir, Scaloni juga memainkan bek mungil idola baru fans MU, Lisandro Martinez sebagai duet Otamendi di barisan belakang; sebagaimana yang saya usulkan.Â
Pendek kata, Scaloni memilih nama-nama baru menghadapi Mexico yang dikenal liat, cepat, serta diasuh seorang Argentina bernama Gerardo Martino.Â
Kita mesti sejenak melihat profil dari pelatih kelahiran 20 November 1962 ini.Â
Pelatih kelahiran Rosario ini memiliki riwayat melatih Barcelona di musim 2013-2014. Walau tidak berhasil juara liga, capaiannya sesungguhnya tidak buruk-buruk amat untuk pelatih pendatang baru dengan latar belakang Non-Eropa.Â
Wikipedia mengatakan bahwa Martino adalah pelatih pertama dalam sejarah Barcelona yang tidak kalah dalam 16 pertandingan awal.Â