Aku pernah datang ke sebuah kota yang pertama kali kutemui di dalam mimpiku sendiri.
Kota yang begitu sepi, setiap jalanannya adalah puisi yang tidak pernah selesai. Kesedihan menyambungkan setiap sudut-sudutnya. Hanya tersisa beberapa perempuan dengan bola mata yang berwarna pagi. Tapi matahari tidak lagi terbit di sana.
Aku termangu di sebuah sudutnya yang menghadap laut. Rumah panggung berdinding kelapa memutar kenangan dari masa remaja. Kenangan yang berulang kali  memanggil-manggil namaku.Â
Tapi di kepalaku, segalanya terlanjur gaduh. Aku tidak mendengar apa-apa selain ambisi sendiri.Â
Aku hanya ingin tidur lebih nyenyak dengan datang ke sini--bukankah aku sedang melayat ke mimpi sendiri?
***
Aku kira kita adalah kota yang tidak pernah ingin dikunjungi tapi tinggal ini yang kita miliki di musim bersedih.Â
Setiap hari kita selalu tumbuh terlalu pesat dan tiba-tiba saja tersesat. Kita berangkat terlalu pagi dan pulang dengan nasib yang masih sama dengan kemarin. Pikiran kita mampet seperti comberan, hitam dan berbau dendam.Â
Tapi, kita adalah kota yang tidak boleh membenci dirinya sendiri.Â
***