Tidak ada peristiwa lain yang dinanti-nanti fans Argentina di seluruh muka bumi selain menjadi juara di tahun ini.Â
Menjadi juara di Qatar bukan karena mengejar capaian milik Brazil atau Italia, apalagi Inggris. Tidak karena memenangkan rivalitas antar bangsa dengan tradisi sepakbola yang kuat ini.Â
Argentina kudu mencapai juara agar sejarah Messi dalam sepakbola menjadi kisah klasik untuk masa depan. Messi masih menjadi bayang-bayang Maradona dalam perkara mengangkat trofi "Jules Rimet".Â
Tahun ini, Messi sudah berada di masa menuju pensiun. Mengenang riwayat karirnya yang cemerlang-hampir-tanpa cacat maka satu-satunya yang menyempurnakan adalah juara di ajang empat tahunan ini.
Pada Piala Dunia 2014, Messi pernah membawa Argentina hingga puncak. Namun dikalahkan Jerman lewat gol tunggal Mario Goetze di masa perpanjangan waktu. Sakit hati.Â
Sama sakitnya ketika di final tahun 1990, Maradona,dkk juga kalah oleh satu-satunya gol penalti Jerman yang dieksekusi Andreas Brehme. Dari pertemuan dengan Jerman di final, Argentina baru sekali menang di Mexico, tahun 1986.
Tapi, di partai pembuka Grup C, kita belum melihat tanda-tanda itu. Taktik Scaloni, pelatih termuda di turnamen kali ini, tidak banyak memberi keyakinan. Â Â Â
Hingga menit ke 50, kita berhak menyimpulkan jika Leo Messi, dkk bermain tanpa kreativitas yang cukup. Mereka bahkan cuma bisa bikin gol dari penalti, bukan akibat skenari open-play yang ciamik.Â
Serangan selalu mengandalkan pergerakan di sayap. De Paul dan Gomez yang seharusnya memberi efek lebih kreatif, malah tidak berfungsi. Sementara Paredes sering men-delay bola. Messi sendiri tidak banyak menyentuh bola.Â
Setelah dipikir-pikir, kok agak mirip-mirip Juventus, ya. Membosankan.
Messi dan Martinez bukan tanpa manuver. Mereka beberapa kali beradu cepat dengan pertahanan Saudi, bikin gol tapi keduluan offside.Â