Dua hari yang lalu, 18 November 2022, Kompasiana telah merilis kabar gembira. Yakni perihal mereka yang masuk dalam calon penerima Kompasiana Award untuk tahun ini.Â
Tidak terlalu penting siapa saja mereka itu. Tapi siapa saja mereka tentulah nama-nama yang sekiranya cukup konsisten menjaga kualitas kepenulisan melewati sepanjang tahun yang tidak mudah. Tidak semua adalah nama-nama yang baru aktif sejak tahun 2019. Ada yang juga sudah terseleksi sejak tahun-tahun sebelumnya.
Dalam kategori yang ditetapkan admin, mereka yang terseleksi memiliki kuantitas dan kualitas berinteraksi terbaik di Kompasiana, aktivitas saat event online dan offline, dan tentu saja kualitas tulisan yang memenuhi syarat. Mereka adalah yang terpilih di tahun ini.Â
Di samping semua hal di atas, kiranya kabar gembira lainnya adalah perluasan kategori bagi calon penerima penghargaan tahunan ini. Angkatan sebelumnya hanya mencakup Best in Citizen Journalism, Best in Opinion, Best in Specific Interest, dan Best in Fiction. Di tahun ini ada dua kategori lagi: Best Student dan Best Teacher.
Saya sekadar ingin membicarakan dua kategori tambahan ini. Tentu dalam pertimbangan saya yang tidak mesti relate dengan pertimbangan yang lain.
Saya kira ditetapkannya kategori Best Student adan Best Teacher adalah menetapkan dua golongan yang sedari dulu semestinya sudah dipisahkan. Alasannya sederhana saja.
Bahwa Best Student yang menjadi ruang bagi mahasiswa mengembangkan diri dalam kepenulisan jagad digital memang sudah waktunya diberikan kanal sendiri.Â
Bukan semata-mata bahwa pergulatan keresahan, pikiran hingga kata-kata mereka janganlah diadu-adu dengan yang udik seperti saya, apalagi bercampur dengan yang pengalaman hidupnya lebih panjang. Ini tidak karena anak-anak muda dari bangku kuliah ini tidak etis bersaing atau, dari arah sebaliknya, karena generasi di atasnya terlalu tua untuk dibanding-bangdingke.
Masalahnya adalah ruang seleksinya terlalu sesak, filter yang dipakai bisa jadi kurang relevan. Kita bisa luput melihat dinamika yang membentur-membentur-membentur-membentuk dari zaman mereka.Â
Satu lagi, di angkatan saya menjadi mahasiswa, menulis adalah pertarungan merebut halaman di media cetak, merayu selera redaksi, hingga pergaulan dengan wartawannya (baca: orang dalam). Saat ini, situasinya jauh lebih simple.Â