Sesudah tumbang di Allianz Stadium yang agung, Leonardo Bonucci berujar jika dia khawatir dengan kondisi Juventus.Â
Seperti dilansir Football Italia, kapten yang kini menjadi mentor sekaligus bertandem dengan Bremer, berkata begini, "Saya khawatir, tidak ada gunanya menyangkalnya. Sayangnya, kami memiliki kecenderungan kehilangan arah selama pertandingan. Saya tidak tahu mengapa itu terjadi dan itulah yang sangat mengkhawatirkan."
La Vecchia Signora yang digadang-gadang sedang memulai proyek baru (dan karena itu membiarkan Dybala pergi gratis) tampil medioker seperti yang makin konstan dipertunjukan. Di kompetisi domestik, tim ini cuma bisa menang dua kali dari empat pertandingan.Â
Sedang di Liga Champions, berhasil meraih dua kali kekalahan. Disikat PSG dan, barusan saja, Benfica. Dua klub yang pernah dibela Angel Di Maria, yang ketika pertandingan berakhir, bertanya kepada Milik mengapa ia diganti. Kekalahan yang juga membuat Leo Bonucci, dkk dicemooh fans.
Hasil subuh barusan sekali lagi melambungkan #Allegriout di trending topic Twitter. Warganet membicarakan Zidane yang nganggur, Tuchel yang baru dipecat, atau kembali memanggil Pirlo yang kini melatih di Turki. Tapi warganet hanyalah jelata yang riuh dengan gadget mereka.
Sebelum laga, memang beredar desas-desus jika nasib pelatih yang sukses menjaga dominasi Juventus paska-Conte ditentukan hasil melawan Benfica. Ada pengharapan yang kuat kepada para bos di Juventus agar memberi peringatan yang tegas. Proyek kembali ke puncak bersama Allegri semestinya dievaluasi.
Celakanya, Agnelli dan pembantunya bukanlah kumpulan pikiran yang berkehendak sungguh-sungguh mentransformasi Juventus.Â
Semua fans Juventus tahu jika menggunakan cara Sarriball, lantas melanjutnya dengan cara Pirlo, kemudian kembali kepada "sepak bola segi delapan Allegri" adalah tanda paling terang dari sikap yang condong antiperubahan.Â
Di musim keduanya, Mister Allegri masih saja bertahan dan memainkan sepak bola yang begitu-begitu saja beserta alasan yang membuat fans Juventus setali tiga nasib warga negara di pinggiran hidup yang berjuang melawan kekecewaan.Â
Juventini selalu memelihara harap akan Juventus yang bangkit, dominan, dan meyakinkan.Â
Juventus yang menyenangkan di akhir pekan dan karena itu membuat pecintanya menikmati kerja keras bagai kuda seminggu kemudian demi bertahan menghadapi kenaikan harga barang dan tarif sebagai perkara rutinitas yang biasa saja.
Tapi para bos itu lebih memilih menggunakan ide sepak bola yang negatif, memuakan, dan menghina diri sendiri. Demi bisa bertahan di Liga Champions, demi pendapatan yang terus mengalir. Sebagaimana dengan cukup terang tertera dalam Sup Basi Max Allegri untuk Juventus.
Dengan situasi yang berulang mengenaskan ini, dan Allegri masih aman-aman saja, para bos itu seperti bilang begini.
"Wahai para fans, kalian hanyalah penonton yang terbiasa dengan bermacam-macam pengharapan. Kalian tidak pernah tahu situasi sesungguhnya jika negeri ini ada masalah dan barisan elitenya tampak sebagai pembesar yang sia-sia, kalian bukan bagian dari solusi."
Di saat bersamaan, Allegri sendiri masih pede bilang, "I feel part of the solution, I must find a solution." Pertanyaannya, kapankah drama mengenaskan ini akan berakhir?
***
Situasi Juventus yang dominan dalam satu dasawarsa lantas terseok-seok menjaga stabilitasnya tentu bukan ihwal yang luar biasa. Bukan sejenis cerita sejarah kemunduran yang harus dibesar-besarkan.
Salah satunya karena masa yang gelisah dan cenderung merosot ini baru berjalan tiga musim. Pemain pergi, datang, dan bertahan. Cuadrado yang berpotensi besar ngos-ngosan di liga sekeras Premier League bahkan nyaris tak tergantikan.Â
Uang masuk dan keluar. Vlahovic dibayar mahal kemudian kehilangan eksplosivitasnya yang konstan seperti di Fiorentina. Dybala dibiarkan pergi gratis dan kini menemukan cinta yang bersemangat Romanisti.Â
Ada pandemi, ada keuangan yang guncang. Dan kita terpaksa harus menikmati "anggur lama dalam botol yang usang" bernama Allegri.Â
Maka, cobalah berpikir krisis tiga musim ini dari posisi pemuja Milan, Inter, dan Napoli.
Mereka tetap bertahan dengan muka-muka lama. Pioli, Inzaghi, dan Spaletti. Muka lama yang belum sementereng Allegri sebagai kampiun Serie A. Apalagi mendekati Jose Mourinho yang barusan membuat tatto bergambar piala-piala yang pernah diraihnya.Â
Tapi mereka adalah bagian dari perkembangan sepak bola yang atraktif, menyerang dan menghibur. Mereka adalah cerita yang melengkapi perubahan Italia di masa Mancini; Italia masa pandemi. Mancini dengan Gli Azzurri yang asik ketika juara piala Eropa 2020.
Pioli, Izaghi, dan Spaletti adalah arus yang menggerakan perubahan.
Sedang di Juventus, dengan nama-nama top dan beberapa figur kunci yang cedera, kita masih melihat konservatisme yang makin kental saja.
Orang-orang akan bilang skuad ini timpang, nama-nama seperti Chiesa dan Pogba belum lagi bermain. Kita belum lagi melihat Juventus yang tampil utuh. Berikan kesempatan.
Tapi, perkara cedera atau perlunya waktu untuk adaptasi milik semua klub. Dan melampaui semua itu, ada sistem yang bekerja untuk menyatukan semua itu kedalam stabilitas, konsistensi, dan arah yang meyakinkan.Â
Jurgen Klopp di Liverpool juga sedang dalam masalah sesudah Mane pergi diganti Nunez. Proyek Klopp bahkan disandingkan dengan siklus kutukan 7 tahun. Konon, sesudah 7 tahun, Gegenpressing mulai kehabisan nafas, seperti riwayat yang pernah terjadi di Mainz dan Dortmund.Â
Manchester United bahkan tampil lebih buruk sebelumnya. Sang kapten, Harry Maguire berkali-kali menjadi subyek olok-olokan warganet. Tapi sang pendatang baru, Erik ten Hag mulai menunjukan kualifikasinya. Bahwa dirinya adalah bagian dari solusi.Â
Setidaknya dengan empat kemenangan sesudah dua awal musim dari Brighton dan Brentford. MU kembali kompetitif di kancah domestik.Â
Atau Xavi Hernandez di Barcelona. Sesudah semusim yang adaptif dan terpuruk di hadapan keperkasaan Real Madrid, Dembele,dkk memulai musim ini dengan hasil yang baik. Mereka berada di peringkat dua, dengan empat kali kemenangan, sekali seri. Lebih dari itu, Barcelona yang bermain indah kembali terjaga.
Musim memang masih panjang tapi Anda tetap harus menunjukan tanda-tanda kebangkitan. Satu-satunya adalah dengan meraih kemenangan yang meyakinkan, bukan kemenangan dari laga di mana Anda memilih untuk tidak (tahu cara) menyerang, mister Allegri!
Semua makhluk berakal akan setuju bahwa seburuk apapun kekalahan, ini bukan saatnya khawatir. Semua harus kembali fokus dan bekerja keras. Semua pelatih dan pemain dari tim yang kalah akan mengatakan begitu.Â
Masalahnya, jika fokus dan bekerja keras itu bersama cara Allegri yang terbukti mandeg berkali-kali itu, bagaimana kami tidak khawatir? Masalahnya bukanlah pada percaya bahwa badai pasti berlalu akan tetapi bisakah kita selamat melewati badai?
Bukankah situasi Juventus ini juga membuat kita terpaksa bertanya begini.Â
Bagaimana tidak khawatir jika data pribadi mudah sekali dan berkali-kali bocor? Sementara para pejabat terhormat yang bahasanya bertumpuk-tumpuk dengan kosakata yang rumit itu masih saja "bermain takraw" kesalahan seolah-olah kami ini hanyalah deretan jelata bodoh sehingga tidak mampu menangkap gejala bahwa orang-orang seperti Anda sejatinya tak cukup kompeten?
Anda sudah gagal!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H