Seorang truffle hunter, pria paruh baya memilih hidup di dalam hutan, bersama seekor babi, di dalam rumah kayu yang lembab.Â
Hanya ada sebuah radio tape, ranjang, dan suasana yang temaram. Sesekali seorang pemuda, Amir (Alex Wolff) namanya, datang untuk membayar "truffle" yang dicarinya.
Truffle adalah jenis jamur yang dikenal sebagai jamur mewah sebab harganya yang terkenal mahal di dunia kuliner. Mengutip Kompas.com, truffle kaya akan asam amino yang dibutuhkan tubuh, mengandung antioksidan, punya kadungan anti bakteri, dan antikanker. Selain itu, truffle juga jenis yang susah ditemukan.
Orang tua ini dikenal sebagai Robin. Dengan rambut gondrong tanggung awut-awutan dibalut outfit yang kucel penuh daki, segera terlihat sebagai seseorang yang menyembunyikan kehilangan, jika bukan kesedihan yang menggerogoti dirinya pelan-pelan.
Dan babi itu, dengan wajahnya yang seperti berkumis karena itu lebih mirip seekor anjing, adalah satu-satunya obat; subyek yang membantunya bertahan melewati kesedihan yang merusak.
Dalam hidup pada hutan dengan tegakan yang masih bagus, Robin dan babinya adalah cerita yang eksotis.Â
Semacam hidup yang ceritanya bersumber dari mereka yang memelihara kesederhanaan, ketenangan, dan belum mengenal perilaku memangsa sesama; hidup bersahaja.
Lalu, pada suatu hari yang getir, seperti nasib negeri-negeri di bawah angin dalam babakan sejarah kolonialisme, Robin kedatangan pemuda yang reseh. Rombongan kecil pemuda yang tak pernah tenang jika tidak bikin masalah.
Selain menghajar Robin, mereka membawa lagi satu-satu makhluk yang membuat Robin betah di dalam hutan. Sampai di titik ini, Robin yang diperankan Nicolas Cage (Con Air, Ghost Rider) dalam pikiran saya akan membalas dengan aksi-aksi yang brutal.
Setidaknya dalam memori yang lebih kontemporer, dalam dugaan awal saya, cerita seperti ini akan mendaurulang kemarahan John Wick.Â
Dari sini, penonton terus diajak melihat masa lalu seorang Robin, yang ternyata adalah mesin pembunuh tanpa tanding dari satuan khusus Marinir, semisal Robert McCall di The Equalizer (2014).
Maka dari itu, saya merasa hanya akan buang-buang waktu belaka.
Tapi "Pig", yang rilis 2021 ini membawa kita pada jalan cerita yang tidak sarat kekerasan dan laga seperti film-film Nicholas Cage yang lain. Atau perihal balas dendam yang bengis dan brutal.
Fakta yang lain adalah: film yang ceritanya ditulis oleh Vanessa Block mendapat rating 6,9 di situs Internet Movie Database. Selain juga, mengutip Wikipedia, Pig memenangkan penghargaan bernama "Independent Spirit Award for Best First Screenplay", sebuah penghargaan tahunan dari Film Independent.
Juga lewat aksinya di film berdurasi 1 jam 32 menit ini, Nicolas Cage meraih nominasi "Best Actor" kedua pada ajang Critics' Choice Movie Award for Best Actor 2021. Ia dikalahkan Will Smith yang berperan sebagai Richard Williams dalam biopik King Richard.
Jadi, seperti apa film dengan alur yang lambat ini bercerita?
Tema utama yang dikisahkan PIG kepada penontonnya memang masih tidak pergi jauh dari riwayat seorang tua yang diam di hutan (Oregon, sebagai pemburu truffle dengan seekor babi) terpuruk dan menjauhi ramai kehidupan kota.Â
Lantas momentum kehilangan piaraan kesayangan membuatnya kembali menghadapi segala macam kesedihan dan rasa takut. Kembali memenangkan diri dari keterpurukan dan pengasingan yang sepi.
Dimanakah kita bisa melihat perbedaannya?
Tragedi dirampasnya sang babi adalah momen bagi terbukanya biografi Robin Feld, bukan semata kembalinya sang protagonist ke ramai kota Portland. Lelaki yang mengasingkan diri sekitar 15 tahun adalah seorang koki (chef) ternama dan dihornati.
Dia pernah mengelola restoran terkenal, memiliki murid yang kini ternama, dan penggemar yang masih mengenang kehebatannya. Dan yang tak kalah bergunanya, Robin Feld adalah warga dari masa lalu yang memahami sudut-sudut gelap dari hiruk pikuk sebuah kota.
Dengan modalitas historis ini, Robin menyusun pencahariannya sendiri. Tak ada polisi, apalagi senjata, kekerasan dan korban dari gerombolan pemuda reseh dan tolol.
Salah satunya adalah menemui sosok bernama Edgar (Darius Pierce).
Edgar adalah pebisnis yang mengelola tinju underground bagi karyawan restoran (yang stress dan butuh duit tambahan) sejak lama. Edgar juga sosok yang memiliki akses pada kejahatan bawah tanah yang mungkin tidak dipusingkan polisi: siapa yang berkenan repot-repot mencari pencuri hewan yang bukan golongan langka seperti seekor babi?
Robin harus merelakan dirinya babak belur sebagai samsak hidup sebelum mendapat selembar kertas berisi nama sebuah restoran, tempat di mana dia mestinya pergi bertanya. Restoran terkenal itu milik ayahnya Amir, pemuda yang bertekad memiliki bisnis sendiri (sebagai penampung truffle yang mahal) demi tidak menjadi bayang-bayang.
Pencahariannya ke restoran atau lebih persisnya kepada ayahnya Amir bisa dimaknai sejenis ziarah pada kesedihan yang terikat dengan nasib Robin manakala ia masih menjadi chef yang memiliki banyak penggemar.
Amir masih terkenang-kenang malam di mana ayah dan ibunya pergi makan bersama. Mereka makan sesuatu yang sangat nikmat dan pulang dalam keadaan mabuk. Mereka bahagia. Kebahagiaan yang tidak bisa diulang, yang menandai perpisahan, dan keterpurukan sang ayah.
Dalam penderitaannya dan kenangan itu, Darius (Adam Arkin) alias ayahnya Amir menutup diri dari dunia luar. Sepintas lalu, sosoknya dilukiskan hidup dalam rumah yang bagus dengan jam kerja hingga malam hari.
Darius mengenali Robin Feld, namun tidak ingin bicara tentang seekor babi yang hilang.
Robin Feld, yang masih babak belur, kucel dan tidak ingin membersihkan dirinya itu, tidak kehilangan siasat. Sebagai mantan chef nomor satu kebanggaan separuh Portland, dia memiliki kualifikasi yang tdai dimiliki sembarang orang.
Kualifikasi itu adalah dia bukan saja mahir dalam memasak, dia juga mengenali siapa saja yang pernah dilayaninya, apa yang dipesan mereka. Tak terkecuali kepada Darius dan mendiang istrinya.
Maka demi informasi penting dari nasib si babi, Robin kembali ke dapur didampingi Amir. Ia memasak sajian daging, seperti burung dara, ditemani anggur yang khas. Kemudian mengajak makan Darius yang kaku dan tertutup.
Sebagai bos restoran terkenal, Darius bukan saja tahu jika menu yang disantapnya adalah sajian berkelas. Namun juga, hanya dalam dua suapan, Darius mendapati dirinya dalam kenangan yang masih basah. Ia terkenang istrinya, makan malam yang asik, dan kesendiriannya yang rapuh.
Darius marah karena sajian tersebut seperti mengembalikannya ke ingatan yang kelam tapi Robin juga memiliki kesedihan yang butuh jawaban. Singkat, si babi juga telah tiada dan hidup harus terus dilanjutkan.
Kesedihan karena kehilangan sesuatu yang dicintai tidak pernah mudah disamarkan, bahkan sesudah melewati berpuluh tahun menutup diri, mengasingkan hidup atau bekerja keras tak kenal waktu.
Darius dan Robin adalah dua lelaki paruh baya yang kembali terikat pada masa lalu yang sedih, yang ingin mereka kalahkan dengan cara yang salah.Â
Film Pig ingin bercerita begitu walau dengan penggarapan emosi antar tokoh yang kurang maksimal. Walau begitu, setidaknya, Pig membuat Nicolas Cage terlihat sedikit berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H