Kalau kamu masih bocah, kamu akan selalu memiliki pahlawan super. Tapi jika kamu beranjak tua, kamu lebih bisa memaklumi para penjahat.Â
Saya lupa kata-kata ini dari siapa. Tapi saya membenarkannya ketika berhadapan dengan film-film yang doyan mendaur ulang kisah pahlawan super. Maka dalam menghadapi 'The Batman" yang disutradarai Matt Reeves, saya lebih penasaran seperti apa sang penjahat direkonstruksi.Â
Apa sebab-sebab psiko-sosial dari kemunculan jenis penjahat tertentu? Seperti apa kejahatannya berkelindan dengan tatanan yang bobrok; apakah si penjahat memiliki referensi ideologi tertentu?Â
Bagaimana idenya tentang kejahatan terealisasi lewat aksi-aksi nyata; semungkin apa dia membuat si pahlawan super kelihatan amatiran dan tolol? Â
Karena itu kita jadi tidak perlu terlalu berjibaku melihat dunia dalam sudut pandang Batman belaka. Batman yang diperankan oleh Robert Pattinson. Nama yang mula-mula mentereng lewat drama romantis berlatar pertikaian makluk supra-human dalam saga Twilight memang terlihat lebih sendu kali ini.
Batman kali ini tidak pergi jauh dari asal-usulnya. Bocah pewaris kekayaan Thomas Wayne yang menjadi saksi pembunuhan orang tuanya, diasuh oleh Alfred yang setia (dan kini bisa membaca pesan rahasia), tumbuh dengan pertarungan melawan rasa takut akan kehilangan.Â
Batman masih tidak akan pernah memaafkan dirinya jika kota Gotham hancur di tangan kelompok mafia atau perselingkuhan mafia dengan kekuasaan politik dan aparat polisionil.
"The Batman" masih tidak keluar dari identitasnya yang asali.
Kecuali, Batman-nya Matt Reeves, Peter Craig dan Bill Finger (para penulis cerita) tak lagi secanggih yang sebelumnya. Ruang kerjanya pun seperti bengkel rongsokan dengan teknologi pengidentifikasi wajah yang belum digunakan Falcone, dkk. Batman juga belum mengenal artificial intelligent dan Big Data, kalaupun ada, rasanya dengan dosis yang minim.Â