Riddler juga bekerja seorang diri. Ada segerombol simpatisan yang berdandan meniru dirinya tapi mereka hanyalah lalat di tengah pesta orang-orang kaya, cari mati seketika.Â
Karena kesengsaraannya dari masa bocah, Riddler merasa memiliki ikatan psikologi dan meniatkan aksinya sebagai pembalasan dendam yang tidak disadari Batman.Â
Puncak ambisinya adalah menyaksikan Gotham tenggelam dan musnah; saat dimana akan dirayakan sebagai hari penghakiman. Dari balik topengnya yang terlihat seperti tumpukan lakban karena itu tidak seestetik milik Bane, Riddler adalah suara yang menyempurnakan kesuraman kota dengan jejak kedermawanan keluarga Wayne dimana-mana.Â
Dan, sebagaimana kisah kepahlawanan Batman pada galibnya, Gotham memang berantakan namun kewarasan dan kemanusiaan masih menjadi pemenang. Batman masihlah simpul yang menjaga tegaknya dua hal tersebut.
Karena itu juga, bagi saya, 'The Batman" memang berusaha memeluk kita dengan kesuraman. Dengan menelusuri jejak-jejak hidup dari semesta yang kehilangan cinta. Tapi dia tidak memberi kita Batman yang lebih segar.Â
Sebagaimana kesuraman sepanjang 3 jam ini ingin menggantikan Joker yang malah samar-samar muncul di ujung kisah. Riddler memang ingin menghadirkan kekacauan, sayang sekali, dia tak cukup memahami sebab-sebab struktural dari hancurnya tatanan bobrok.
Riddler terlalu cupu. Tak seperti Bane di The Dark Knight Rises. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H