Sejak pulang ke Camp Nou, tempat dimana dia menciptakan keajaiban bersama Iniesta dan Messi, para pemuja tiqui taca kembali dipenuhi harap. Termasuk saya yang bukan cules.Â
Sebab, walau seorang Belanda dan juga merupakan legenda hidup Barcelona, Ronald Koeman gagal memberi sentuhan yang boleh memulihkan kengerian Barcelona seperti era Frank Riijkard, Pep Guardiola atau Luis Enrique.
Harap cules kini tak salah atau bertepuk sebelah tangan.Â
Bersama Xavi Hernandes, Blaugrana pelan-pelan menemukan identitas bermainnya. Dominan, atraktif dan menyerang. Sepak bola yang menghibur. Di tangan bekas pelatih Al Sadd, Barcelona kembali mengalami kegembiraan. Sempat terlempar hingga peringkat 9, kini boleh kembali ke posisi 2.
Xavi baru bekerja dalam tempo tidak kurang dari 5 bulan. Namun Sergio Busquets, dkk telah berhasil membebaskan diri dari bayang-bayang medioker alias takdir mid-table team.Â
Bola.net mencatat jika sejauh ini, statistik Xavi di Barcelona adalah 25 laga, 14 kali menang, tujuh imbang, dan empat kali kalah. Barcelona era Xavi rata-rata mencetak dua gol per laga dan kebobolan 1,12 gol per laga.Â
Dalam rangkaian cerita sukses ini, salah satau yang penting dan selalu dinanti-nanti seluruh dunia adalah bagaimana mereka menghadapi El Clasico.Â
Walau sempat kalah di pertemuan pertama dengan skor tipis 1:2, saat gantian menjadi tamu, game plan Xavi sukses meremuk Real Madrid dengan skor telak 0:4!Â
Carlo Ancelotti seperti orang tua yang kehilangan siasat meladeni juru taktik dengan pengalaman dari daratan Timur Tengah. Dalam perhitungan klasmen, Xavi membuat Barcelona memiliki selisih poin 12 dengan Real Madrid dengan tabungan satu laga tunda. Ada kans meraih gelar juara La Liga.
Hingga tadi pagi, drama penghancuran "Xavi Effect" ditunjukan Eintracht Frankfurt di ajang Liga Eropa.Â
Tentu saja, sebagai unggulan pertama dan main di Camp Nou, melibas anak asuh Oliver Glasner adalah keniscayaan. Tapi, klub dari Jerman tidak takluk dengan cara sesederhana itu.Â