Kota Serui, kabupaten Yapen Waropen sebelum Otonomi Khusus. Papua tahun 1980-an akhir.Â
Pada suatu pagi, saya terbangun dengan pemandangan yang lucu. Ada seekor binatang, tak bersayap dan tanpa memiliki ekor. Bulunya agak kasar, berwarna kuning kecoklatan dengan garis-garis berwarna coklat gelap.Â
Kakinya agak panjang, kulit lehernya berwarna biru. Matanya coklat kehitaman. Perangainya aktif. Ia selalu berlari dan berlari. Seperti anak ayam saja.Â
Kami kemudian memanggilnya "Kiwi". Om saya yang bertugas di pedalaman yang membawanya ke Serui. Mungkin mendapat cinderamata dari penduduk atau menyitanya dari penyelundup, entahlah. Yang jelas, Kiwi telah tiba di rumah dan harus berbagi ruang pada sebuah kandang bersama beberapa ekor itik, kambing, dan ayam. Rumah yang ramai.
Almarhum bapak sangat gemar bertani dan beternak, sesekali bertukang. Kesenangan khas anak desa ini merupakan identitas yang terus hidup melengkapi panggilannya sebagai guru. Identitas yang telah terlibat membentuk masa kecilnya di sebuah sudut Kulonprogo yang tenang.Â
Beliau ingin berbagi jejak itu sejak kami masih kecil, terutama saya sebagai yang tertua. Saya harus memastikan bahwa setiap hari rombongan kecil itik sudah bermain di kali kecil yang melintas di depan rumah; ayam-ayam sudah makan dan kembali ke kandang, juga kambing harus kembali masuk ke kandang sesudah diikat di lokasi yang tebal rumputnya sebelum kumandang adzan magrib.Â
Sekarang ditambah lagi dengan Kiwi.Â
Kiwi hadir di masa-masa ini, sebagai "jenis yang berbeda", kalau bukan spesial. Tapi Kiwi bukan satu-satunya yang spesial. Ada juga seekor Kasturi kepala-hitam (Lorius lory) yang sudah pintar mandi sendiri dan meniru suara. Dan seekor Kakatua Jambul Belerang (Cacatua galerita) yang memang cerdas.Â
Mengapa mereka bisa ada di rumah? Saat itu tahun 80-an, dan Om saya...
Saya ingat Kiwi sangat suka melahap buah pisang. Kiwi kecil, yang mungkin baru beberapa minggu dipisah dari induknya, memakan pisang yang sudah dipotong menerupai dadu. Dia memakannya dengan sangat cepat, seolah-olah yang ada di perutnya hanyalah rasa lapar.Â
Kiwi juga berbagi hobi yang sama dengan saya.Â
Manakala sore menjelang, saya suka berlari keliling kompleks kami di gang Surabaya, Tarau, bersamanya. Kiwi bertingkah seperti anjing piaraan saja. Ia akan berlari mengikuti langkah kecil saya sampai ngos-ngosan.Â
Atau kami akan bermain di pekarangan yang luasnya tak seberapa. Bekerjaran seperti anak kucing yang menemukan gulungan benang wol, lalu tergulung di dalamnya.
Saya tak ingat, sama tak yakin, tapi rasanya keriangan persahabatan saya dan Kiwi menimbulkan rasa iri kawan-kawan sekomplek. Secara, di masa itu, saya seorang yang memelihara hewan jenis Kiwi.Â
Menjelang beberapa bulan, saya tak ingat persis, badan Kiwi makin membesar. Selain bertambah tinggi, kakinya pun semakin kokoh. Dia mulai menambah kegemaran berlarinya dengan menendang apa saja.Â
Dia sering sekali berlatih menendang tiang listrik yang tertanam di pekarang. Ting tang ting tang, seperti dua pedang yang bertemu di sebuah latihan kungfu saja. Tentu saja saya tak pernah berani mengajaknya duel kaki seperti kisah di dalam komik Tiger Wong atau Tapak Sakti--bocah 90-an, mana suaranya?
Pernah juga ia menendang anak babi milik tetangga dari Pegunungan Tengah yang kabur ke pekarangan kami. Sebuah tendangan keras yang membuat anak babi itu terlempar, menabrak pagar dan berteriak. Bunyinya keras sekali, kesakitan.Â
Sejak saat itu, tak ada lagi anak babi yang berani nongol. Tapi Kiwi tak pernah menendang ayam atau itik apalagi kambing yang serumah dengannya.Â
Ada satu peristiwa yang rasanya menjengkelkan namun tak ada yang bisa disalahkan.Â
Pada suatu sore, motor tua bapak jenis Suzuki yang baru saja diganti lampu seinnya sedang berdiri gagah. Motor itu juga baru saja dicuci. Biasanya, kalau sudah stanby rapi bersih begini, bapak akan mengajak kami bertiga jalan-jalan. Mengelilingi Serui yang kecil, tenang dan bersahabat.Â
Tiba-tiba saja, Kiwi yang baru saya lepas dari kandangnya, berlari kencang, bak buk bak buk. Langkah panjangnya menuju motor bapak. Dengan sekali lompat dan tendangan mengapit, motor itu tumbang. Braak. Kaca spion dan lampu seinnya pecah.
Bapak bergegas keluar dari rumah, disangkanya saya sedang tertimpa motor. Di luar sana, Kiwi sedang berjalan santai tanpa rasa bersalah. Siapa yang hendak dimintai pertanggungjawaban? Kiwi memang tak pernah bisa diam.
Tapi, pada suatu waktu, kami pernah sangat bersedih karena Kiwi. Ketika itu dia sudah besar, tingginya mungkin mencapai setengah meter. Kiwi tak lagi memakan pisang yang dipotong serupa dadu.Â
Entah bagaimana, Kiwi meminum sisa cat yang tergeletak di samping kandangnya. Cat itu berwarna biru. Berhari-hari Kiwi tak berselera pada pisang yang biasanya langsung diserbu ketika hadir di hadapannya.
Kiwi hanya tiduran dan bermuka murung. Tak ingin melakukan apa-apa selain beol-beol. Kami berpikir Kiwi akan mati. Ternyata bukan cat yang membunuh Kiwi. Sesudah beberapa hari, tiba-tiba saja, Kiwi muncul di pekarangan. Berlari-lari sambil memamerkan badannya yang terus besar. Menunjukan sepasang kakinya semakin kokoh dan siap menendang apa saja.
Kiwi memang bukan jenis yang sembarang. Sejak kecelakaan meminum cat, Kiwi tak pernah lagi sakit.
Hingga suatu hari, seorang tetangga datang dan menawarkan akan membeli Kiwi. Saya kira tetangga ini adalah seorang pengusaha. Entah untuk apa membeli Kiwi yang mulai menua dan tingginya mungkin telah mencapai satu meter lebih. Yang jelas ia membayar cukup mahal. Hampir seratus ribu rupiah untuk ukuran zaman itu.
Siapakah Kiwi?
Kiwi adalah jenis Casuarius. Lebih dikenal dengan nama Kasuari. Ia merupakan hewan endemik yang hanya hidup di Papua, Papua Nugini, dan Australia. Sesungguhnya ia adalah jenis burung yang berbahaya. Dalam berita di Kompas.com, Mengenal Kasuari, Spesies Burung Paling Berbahaya di Dunia, dikatakan:
Kasuari merupakan satu-satunya burung yang diketahui pernah membunuh manusia. Dikutip dari Guinness World Records, pada 2019 lalu, seorang pria berusia 75 tahun yang memelihara Kasuari, meninggal dunia setelah diserang dan mengalami luka yang sangat parah. Kematian pertama yang dikonfirmasi akibat serangan kasuari ini terjadi pada 1926 yang menimpa seorang pemburu berusia 16 tahun.
Walau begitu, kasuari tergolong burung buas yang sudah lama berusaha didomestikasi oleh manusia purba. Proses ini terjadi sebelum dilakukan domestikasi terhadap ayam.Â
Sebagaimana National Geographic Indonesia dalam artikel Kasuari, Burung Terbuas di Dunia Dipelihara Manusia 18.000 Tahun yang Lalu melaporkan bahwa:
Hasil sebuah studi baru menunjukkan bahwa manusia-manusia purba mungkin telah mengumpulkan telur-telur burung besar yang tidak bisa terbang itu sebelum menetas. Kemudian, mereka membesarkan anak-anak burung itu hingga menjadi dewasa.Â
Studi ini dilakukan terhadap lebih dari 1.000 fosil fragmen kulit telur, yang digali dari dua tempat perlindungan batu yang digunakan oleh para pemburu-pengumpul di New Guinea.Â
Dikatakan juga jika anak kasuari mudah dekat dengan manusia dan mudah dipelihara serta dibesarkan hingga dewasa. Jika pandangan pertama anak kasuari yang baru menetas itu adalah manusia, burung itu akan mengikuti manusia ke mana saja, demikian penutup dalam artikel yang tayang 1 Oktober 2021. Mirip dengan yang terjadi kepada Kiwi dan saya.
Mungkin karena kedekatan instingtual-yang bermutasi-menjadi-emosional itu jugalah, tidak pernah ada insiden yang berbahaya selama Kiwi dalam pengasuhan kami. Satu-satunya peristiwa mengenaskan adalah ketika dengan gagah berani tak bersalah, Kiwi menghajar motor Suzuki yang sedang diparkir.Â
Hidup Sesudah Kiwi
Sebenarnya, sesudah Kiwi dibayar dan berpindah tuan, tidak ada kesedihan yang khusus. Misalnya saya menjadi murung, ogah makan, mengurung diri atau menyusul Kiwi ke tuannya yang baru.Â
Tak ada momen melodramatis seperti ini. Saya bahkan sudah lupa bagaimana Kiwi dibawa saat itu.
Yang jelas, sejak Kiwi pergi dan entah mangkat sebagai apa, sejak saat itu juga saya tidak memiliki kawan seekor hewan. Padahal ada seekor perkutut kesenangan bapak yang setiap malam berbagi ruang dengan saya. Kami tidur di ruang tamu yang sama.
Setiap menjelang subuh, dia pasti akan bersuara. Tapi, kebersamaan ini tidak menjadi momen yang khusus atau mesti dikenangkan.Â
Anehnya, gara-gara menulis ini, saya sepertinya baru disadarkan. Hanya ada Kiwi, seekor kasuari yang pernah menjadi kawan hewan semasa kecil di Serui, Papua.
Waktu begitu lekas. Ingatan selalu ringkas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H