Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Bersatu, Bangkit dan Preet!

29 Oktober 2021   20:44 Diperbarui: 29 Oktober 2021   20:51 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rantai Putus | Vital via idntimes.com

Dkils paham benar jika usia muda tak boleh tak akrab dengan politik. Jika kau ingin menguji laki-laki, berikan dia kekuasaan--Dkils ingat kata-kata ini selalu. Oleh karena itu, pilihannya berpolitik sejak usia muda dirasa sebagai panggilan yang tepat.

Sekalipun hanya hidup di sebuah gang sempit, yang konon pernah menjadi perlintasan dari serombongan sapi di masa kolonial, dengan anak-anak muda yang setiap hari membaca berita dari gawai. Kemudian berdebat sengit sampai tengah hari demi mengomentari kekuasaan yang tetap saja menyisakan perseteruan orang-orang tua dengan cara berpikir kekuasaan adalah aset yang mesti dituruntemurunkan. 

Andi, pagi ini memulai pernyataan sesudah membaca beberapa rilis survey. 

"Seandainya pilpres dilaksanakan pagi ini, saya kira Lelaki Berambut Perak itu akan menang dengan telak. Sekalipun dia tak diusung partainya."

Tapi Tono punya argumentasi berseberangan. 

"Hahaha. Orang sudah muak dengan kader-kader dari partai itu. Mereka akan memilih si Senyum Manis, yang licin dan selalu ingin tampil beda. Manuvernya memang menabrak arus logika umum. Yang penting tahu caranya menang, bukan?"

Pun dengan Yanto. 

"Ah, kalian berdua masih saja halu. Tidakkah sedikit saja pernah berpikir jika rezim laki-laki di negeri yang dulu zamrud sekarang batu akik ini sudah harus dihentikan? Kita butuh kepemimpinan perempuan, yang lembut dan tulus merangkul sesama. Perempuan yang jauh dari negosiasi akal bulus."

Dkils belum banyak berkomentar. Sembari ngupil dan mengepulkan asap ke udara, seolah menerawang, biar disangka sedang merenung. Di gang itu, dia memang sering diajak menjadi bagian dari tim sukses. Baginya, kerja tim jauh lebih penting dibanding kerja (yang) sukses. 

Untuk apa menjadi tim sukses jika gagal? Pernah ia ditanya bapaknya. 

"Ada ilmu yang tak dimiliki para pemenang, Pak."

"Apa itu?"

"Ilmu mengambil hikmah. Tak perlu kecewa, mari kita ambil hikmahnya kekalahan ini." 

Dkils masih seolah-olah merenung ketika Andi, Tono dan Yanto terdiam menunggu komentarnya. Masih saja diam, termasuk ketika saya menunggu dia berkomentar agar cerita ini bisa dilanjutkan, dan mencari-cari kaitan logis serta terbaca intelektual.

"Roma tidak dibangun dalam satu malam," ujar Dkils lirih, "demikian juga asal-usul Republik tercinta ini."

"Terus?" Tono tak menemukan kaitan Roma bukanlah pekerjaan cinta satu malam dengan andai pilpres dilakukan pagi ini. 

"Maksudnya gimana?" Andi ikut menambah bingung.

"Ya, begitulah.." Dkils kembali tenggelam kedalam kepulan asap. 

"Apakah Roma yang tak dibangun dalam semalam melibatkan perempuan? Pastinya tidak!" Yanto gantian menegaskan posisinya sebagai pembela kesetaraan gender.

 "Mestinya kita tidak membicarakan siapa. Itu cara berpikir yang sejak lama merawat negeri ini dalam perseteruan kelompok, gagal bersatu, kesulitan untuk bangkit. Apalagi untuk tumbuh? Jangan pernah ngarep. Lu pikir kekuasaan serupa ramai-ramai Janda Bolong?"

Dkils mulai berfilsafat. Di hadapan kening Andi, Tono dan Yanto yang berkerut. "Lantas?"

"Tidak ada lantas-lantasnya." Dkils berdiri, hendak balik ke rumah. Perutnya mendadak mulas. Ia lupa jika tadi malam terlalu rakus melahap sambal dari nasi kotak bekas selamatan.

"Tunggu dulu bapak langganan tim sukses. Jangan lempar isu sembunyi maksud. Jelaskan kepada kami mengapa tak ada lantas dari Republik yang gagal bersatu, kesulitan bangkit dan jauh dari kemampuan untuk tumbuh?" kejar Yanto penuh rasa penasaran.

"Entah bagaimana caranya menjelaskan kepada jenis kepala milik kalian bertiga?" Dkils hendak berlari tapi kakinya duluan dijegal Tono yang tiba-tiba kesal luar biasa. 

Bruuk. Dkils terjun gratis menimpa kerikil sisa pembuatan drainase dengan wajah yang duluan mendarat. Andi yang tak percaya hanya bisa menganga. 

"Jangan bertengkaaar," suara Yanto menggelegar, "baru juga mengandaikan pilpres, kita sudah bercerai berai. Dasar jelata!"

Dkils, sang filosof di gang yang pernah jadi perlintasan sapi, tetap tidak terima. Dia ingin sekali bangkit tapi...pantat celananya kini telah berubah kuning dengan bau busuk yang menyergap udara pagi. 

Preet. Preeet. Mencret. 

Entah apa yang kini hendak dibelanya, egonya yang terluka karena jatuh dijegal atau malu karena mencret di celana. Dkils masih terbaring di atas kerikil. Marah dan malu bercampur luar biasa.

Perlahan, Andi, Yanto dan Tono mengajaknya berdiri. Tono lalu memeluk dan meminta maaf. Di dalam batinnya terbit pertanyaan mengapa berbeda paham di politik mudah sekali membuat jelata kehilangan kewarasan, tak penting muda atau tua, suami atau istri?

"Sesungguhnya di atas politik, masih ada persahabatan." Yanto kini berubah posisi. Menjadi bijak dan melerai.

"Sebagai kaum muda yang mengisi dunia paskapandemi, kita tetap harus bersatu, bangkit dan..." Yanto masih ingin berfilsafat tapi tiba-tiba saja, "Preeeett!" Suara yang menandakan isi perut yang memberontak menuntut dibebaskan mendesak keras dari pantat Dkils. Wajahnya pucat, lesu dan berkeringat dingin.

Mencret memang terjadi dalam semalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun